Mata Kuliah : Hukum Komersial
Pokok Bahasan : Sistem Peradilan di Indonesia
Disusun Oleh : Dr. Abdul Rachmad
Budiono, S.H., M.H.
A. Peradilan sebagai
Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Di dalam pasal 24 ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945 (setelah perubahan) ditegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Sementara itu, di dalam ayat (2) ditegaskan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
B. Kewenangan Mahkamah
Konstitusi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur
dalam pasal 24C Undang-undang Dasar 1945 (setelah perubahan ketiga, disahkan 10
November 2001). Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu,
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-undang Dasar.
Hal-hal tersebut diatur lebih lanjut di dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kewenangan absolut Mahkamah Konstitusi diatur
di dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut. Pasal 10
ayat (1) ini menegaskan, ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji
undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; (b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (c)
memutus pembubaran partai politik; dan (d) memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Di samping itu, menurut pasal 10 ayat (2) Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil
presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
C. Kewenangan Badan
Peradilan
Ada dua macam kewenangan (competentie, jurisdictie, kekuasaan)
peradilan, yaitu:
- kewenangan absolut (absolute competentie);
- kewenangan relatif (relatieve competentie).
Kewenangan absolut peradilan adalah
kewenangan peradilan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu (jenis)
perkara yang tidak dimiliki peradilan lainnya. Misalnya, kewenangan untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota
Tentara Naisonal Indonesia dimiliki oleh peradilan militer. Badan peradilan
lainnya tidak memiliki kewenangan tersebut.
Kewenangan relatif peradilan adalah
kewenangan peradilan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara
yang tidak dimiliki peradilan sejenis lainnya. Misalnya A melakukan tindak
pidana pencurian di Kepanjen (termasuk wilayah Kabupaten Malang). Tindak pidana
pencurian yang dilakukan oleh seseorang (A) yang bukan anggota Tentara Nasional
Indonesia, merupakan kewenangan absolut peradilan umum. Karena ada banyak
peradilan umum (negeri), misalnya Pengadilan Negeri Malang, Pengadilan Negeri
Kabupaten Malang, Pengadilan Negeri Blitar, dan lain-lain, maka timbul
pertanyaan, pengadilan negeri mana yang mempunyai kewenangan (relatif) untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tersebut. Jawaban atas pertanyaan
ini merupakan persoalan kewenangan relatif peradilan.
1. Kewenangan Peradilan
Umum
Kewenangan peradilan umum (negeri)
diatur di dalam pasal 50 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum. Di dalam pasl 50 ini ditegaskan “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara di tingkat
pertama”. Perlu diketahui bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Agama. Pasal 50
tersebut tidak diubah.
2. Kewenangan Peradilan
Agama
Kewenangan pengadilan agama diatur di
dalam pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama juncto Undang-undnag Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.Di dalam pasal 49 ayat (1) ini ditegaskan “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah;
dan
i. ekonomi
syariah”.
Hal-hal yang sudah amat jelas di dalam pasal
49 tersebut dijadikan tidak jelas oleh angka 2 alinea ke-6 Penjelasan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Di alinea ke-6 ini ditegaskan, “Para pihak
sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan
dipergunakan dalam pembagian warisan”. Klausula inilah yang di dalam praktik
lazim disebut sebagai pilihan hukum. Hal ini merupakan salah satu kerumitan
yang tercipta sebagai akibat tarik-menarik kepentingan kewenangan absolut
antara peradilan agama dan peradilan umum. Klausula tersebut dinyatakan dihapus
oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan hapusnya klausula tersebut
perkara kewarisan di antara orang-orang Islam sepenuhnya merupakan kewenangan
absolut peradilan agama.
Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
menegaskan, “Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan
lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud pasal 49, maka khusus
mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”. Hal yang ditegaskan di dalam pasal
50 ini berkaitan dengan hal yang berkaitan dengan pasal 49. Ini merupakan
pangkal kerumitan yang sangat tidak sesuai dengan penalaran hukum atau legal
reasoning dan amat menyimpang dari asas peradilan cepat. Oleh Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 pasal 50 ditambah satu ayat, yaitu ayat (2). Ayat (2)
menegaskan, “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa
tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 49. Dengan penambahan satu ayat ini kerumitan yang tidak
logis itu diakhiri. Artinya jika ada sengketa kewarisan yang di dalamnya ada
sengketa hak milik, maka sengketa hak milik ini juga dapat diputuskan oleh
pengadilan agama.
3. Kewenangan Peradilan
Militer
Kewenangan peradilan militer diatur di
dalam pasl 9. di dalam pasal 9 ini ditegaskan “Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militerberwenang:
1) Mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak
pidana adalah:
a. prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan
dengan prajurit;
c. anggota
suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap
sebagai prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang
yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, tetapi atas
keputusan Panglima dengan persetujuan Mentri Kehakiman harus diadili oleh suatu
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer;
2) Memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata;
3) Menggabungkan
perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas
permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh
tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memututs kedua perkara
tersebut dalam suatu putusan.
4. Kewenangan Peradilan
Tata Usaha Negara
Kewenangan peradilan tata usaha negara
diatur di dalam pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Di dalam pasal 47 ini ditegaskan “Pengadilan bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”.
Yang dimaksudkan dengan sengketa tata
usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara,
baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negaram termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tata usaha negara adalah administrasi
negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik
di pusat maupun di daerah.
Keputusan
tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlakum yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
D. Pengadilan Hubungan Industrial
Istilah
hubungan industrial terdapat dalam tiga undang-undang, yaitu (1) Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, dan (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Perselisihan yang timbul karena
adanya hubungan industrial ini disebut perselisihan hubungan industrial (lihat
pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997, pasal 1 angka 22 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003, dan pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004).
Undang-undang yang disebutkan pertama dinyatakan tidak berlaku oleh
undang-undang yang disebutkan kedua (pasal 192 angka 13).
Menurut
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 hubungan industrial adalah suatu sistem
hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau
jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sesungguhnya di antara tiga unsur tersebut, yaitu (1)
pengusaha, (2) pekerja/buruh, dan (3) pemerintah, mungkin saja terjadi
perselisihan. Perselisihan bisa saja terjadi antara pengusaha dengan buruh,
pengusaha dengan pemerintah, dan buruh dengan pemerintah. Dari tiga kemungkinan
ini ternyata hanya perselisihan antara pengusaha dengan buruh saja yang
merupakan perselisihan hubungan industrial. Dua perselisihan lainnya bukan
merupakan perselisihan hubungan industrial. Hal ini didasarkan pada pengertian
perselisihan hubungan industrial menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
(pasal 1 angka 22) juncto
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (pasal 1 angka 1). Menurut dua undang-undang ini perselisihan
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dilihat
dari sudut subjek hukumnya ada dua jenis perselisihan hubungan industrial,
yaitu (1) perselisihan hubungan industrial yang subjek hukumnya pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh, dan (2) perselisihan
hubungan industrial yang subjek hukumnya serikat buruh dengan serikat buruh
lain dalam satu perusahaan. Perselisihan hubungan industrial yang disebutkan pertama
terdiri atas (a) perselisihan hak, (b) perselisihan kepentingan, dan (c)
perselisihan pemutusan hubungan kerja. Perselisihan hubungan industrial yang
disebutkan kedua hanya ada satu, yaitu perselisihan antar serikat buruh dalam
satu perusahaan. Dengan demikian, berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2004 ada empat jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu (1)
perselisihan hak, (2) perselisihan kepentingan, (3) perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan (4) perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.
E. Arbitrase
1. Pengertian
Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian
arbitrase yang dibuat sebelum persengketaan timbul disebut pactum de compromittendo, sedangkan yang dibuat setelah
persengketaan timbul disebut akta compromise.
2. Sumber Hukum
Pada saat ini sumber hukum utama
arbitrase adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3. Lingkup Arbitrase
Menurut pasal 5 ayat (1) Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 sengketa arbitrase yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
F. Peradilan Tingkat
Banding
Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama,
Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan
tingkat pertama. Berikut ini adalah peradilan tingkat banding.
a. Pengadilan
Tinggi sebagai peradilan banding untuk Pengadilan Negeri;
b. Pengadilan
Tinggi Agama sebagai peradilan banding untuk Pengadilan Agama;
c. Pengadilan
Militer Tinggi/Utama sebagai peradilan banding untuk Pengadilan Militer;
d. Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara sebagai penradilan banding untuk Pengadilan Tata Usaha
Negara.
G. Kasasi
Mahkamah Agung merupakan puncak
(merupakan peradilan kasasi) untuk seluruh peradilan. Kedudukan dan Kewenangan
Mahkamah Agung diatur di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung juncto Undang-undang
Nomor5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.