Pendahuluan
AWAL kepengurusan organisasi mahasiswa saat ini, merupakan waktu yang
tepat untuk mewacanakan kembali arah gerakan mahasiswa. Hal ini yang
kadang terlewatkan di antara sebagian aktivis kampus. Padahal
sebenarnya, ini selalu menjadi hal yang menarik dan krusial, khususnya
sebagai jawaban dari pertanyaan mau dibawa kemanakah arah gerakan
mahasiswa saat ini. Artikel ini memiliki tujuan untuk melihat kembali
perjalanan gerakan mahasiswa dan sebagai tawaran diagnosis bagi gerakan
ke depannya. Usaha ini dirasa sangat penting saat melihat gerakan
mahasiswa saat ini semakin kehilangan arah dan basis massanya.
Gerakan mahasiswa tidak semata sebagai kumpulan mitos dan slogan yang
selalu didengung-dengungkan para aktivis. Akumulasi mitos ini justru
melenakan dan menina-bobokan mahasiswa dalam zona nyamannya. Gerakan
mahasiswa menuntut adanya posisi yang jelas dan tegas, misalnya, dimana
mahasiswa seharusnya berada di tengah masyarakat. Menjawab soal
tersebut, sebuah analisa tentang posisi mahasiswa secara teoritis sangat
dibutuhkan. Pun juga sebagai prakteknya dalam ’mengabdikan´dirinya pada
masyarakat. Dalam artian sederhana, aktivisme gerakan mahasiswa saat
ini membutuhkan topangan teori yang kuat sebagai landasan geraknya.
Bukan untuk menjadikan mahasiswa berteori secara saklek dan kaku,
tetapi sebagai landasan gerak yang jelas bagi langkah ke depan.
Pentingnya teori dalam gerakan ini pernah dinyatakan Lenin, ‘Tanpa teori
yang revolusioner tak akan ada gerakan revolusioner.’
Belajar dari sejarah
Gerakan mahasiswa dalam prakteknya bukanlah hal yang ahistoris.
Gerakan ini telah melewati spektrum waktu yang lama dan cakupan
geografis yang luas. Artinya, gerakan mahasiswa bukanlah sesuatu yang
terjadi dengan sendirinya dengan locus spesifik Indonesia.
Justru, gerakan mahasiswa Indonesia merupakan bagian dari kesejarahan
gerakan mahasiswa secara luas di dunia.
Dalam sejarah, secara umum gerakan mahasiswa Indonesia melegenda
dalam masa-masa tertentu. Secara awam pun, mahasiswa dapat menyebutkan
dengan hapal momentum itu. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1966, 1974,
1978, dan 1998 diakui sebagai tonggak sejarah gerakan mahasiswa di
Indonesia. Namun, sebenarnya, yang perlu dilakukan mahasiswa Indonesia
saat ini bukanlah mengagung-agungkan gerakan mahasiswa pada masa itu
dengan menyebut-nyebutnya secara heroik. Mengapa demikian, karena
perilaku itu justru menjatuhkan gerakan mahasiswa pada romantisme masa
lalu dan terjebak dalam mitos-mitos konyol yang banyak menyebutkan bahwa
mahasiswa sebagai satu-satunya motor gerakan perubahan sosial. Bukan
bermaksud meremehkan peran mahasiswa pada masa itu, tetapi pengagungan
membabi-buta akan gerakan mahasiswa ketika itu, dalam pengalamannya,
justru hanya akan berakhir pada rasa bangga saja dan semakin mengokohkan
mitos-mitos yang ada, dan yang paling menusuk adalah tak mengubah
keadaan sedikit pun.
Hal yang perlu dilakukan mahasiswa sekarang adalah pendobrakan atas
‘mitos-mitos’ di atas dan memperbaikinya. Belajar dari sejarah merupakan
upaya merekonstruksi kembali apa yang terjadi di masa lalu untuk
menjadi pembelajaran dalam pembacaan atas realitas sekarang. Secara real memang
kondisi sosialnya jelas berbeda, tetapi pola-pola pembacaan atas
kondisi yang terjadi patut untuk dilihat. Berangkat dari tesis bahwa
gerakan mahasiswa bersifat historis, maka belajar dari masa lalu
adalah upaya mempelajari pola-pola gerakan tersebut secara kritis. Hal
ini perlu dilakukan agar wawasan tentang gerakan mahasiswa tidak sempit.
Oleh karena itu, kita perlu belajar dari fakta sejarah yang telah
terukir di lintasan dunia dalam hal gerakan mahasiswa sebagai bahan
analisa.
Mahasiswa Amerika Latin adalah pemberi contoh yang baik bagaimana
mahasiswa berperan dalam kehidupan bernegara. Aksi-aksi mereka diawali
dari adanya Manifesto Cordoba di Argentina pada tahun 1918. Manifesto
Cordoba menjadi deklarasi hak mahasiswa yang pertama di dunia, dan sejak
itu mahasiswa di sana memainkan peran yang konstan dan militan dalam
kehidupan politik. Manifesto Cordoba adalah deklarasi mahasiswa yang
menuntut adanya otonomi akademik universitas dan keterlibatan mahasiswa
dalam mengelola administrasi universitas (cogobierno). Hal ini
berangkat dari adanya administrasi lama yang tidak pernah memberikan
ruang untuk pembaharuan kurikulum dan adanya ajaran yang membuat setiap
orang ketakutan bila melakukan perubahan. Hal yang dinyatakan dalam
manifesto tersebut salah satunya, ‘Kami ingin menghapus dari organisasi
universitas konsep tentang otoritas yang kuno dan barbar, yang
menjadikan universitas benteng pertahanan tirani yang absurd.’[1]
Program reformasi total yang diinginkan mahasiswa berusaha mendobrak
pandangan konservatif akan universitas, dengan memberikan independensi
penuh pada universitas dari kooptasi kepentingan politik pemerintah,
juga memberikan kesempatan mahasiswa untuk berbagi kekuasaan dalam
kampus. Hal ini merupakan refleksi atas kondisi sosial politis di
Amerika Latin yang dikuasai pemerintahan otoriter, yang jangkauan
kekuasaannys juga masuk ke dalam ranah akademik universitas. Kondisi
yang demikian kemudian menyebabkan gerakan mahasiswa secara bertahap
memperluas tuntutannya pada hal yang lebih bersifat politis, yaitu
perlawanan pada rezim yang otoriter. Hal ini karena adanya kesadaran
bahwa kebijakan universitas tersebut hanya sebatas symptom, perlu
penghajaran pada akar penyakitnya. Perlawanan atas rezim tersebut
dilakukan dengan membentuk berbagai aliansi dan front bersama buruh dan
petani sehingga dalam kenyataannya mahasiswa tidak bergerak sendiri.
Dalam jangka waktu 20 tahun, perlawanan mahasiswa dari Argentina ini
menyebar ke seluruh Amerika Latin. Di Peru tahun 1919, Chili 1920,
Kolumbia 1924, Paraguay 1927, Brazil dan Bolivia 1928, Meksiko 1929,
Kosta Rika 1930, dan Kuba pada tahun 1933 dan 1952. Setiap negara
memiliki karakternya masing-masing, sehingga tingkat keberhasilan dan
durasi pencapaiannya pun berbeda-beda. Ada yang menang dengan
menggulingkan rezim otoriter, ada juga yang hanya setengah-setengah
dengan mendapatkan otonomi sementara. Namun setidaknya, mahasiswa
Amerika Latin mengajarkan kepada kita jika tuntutan akademis dan
aktivitas politik merupakan dua hal yang saling melengkapi, bukan saling
bertentangan.
Di Italia perlawanan mahasiswa berawal dari Turin. Mahasiswa berhasil
mengontrol aktivitas fisik dan intelektual kampus mereka melalui
kegiatan-kegiatannya sendiri. Selama sebulan kampus berhasil di duduki
(27 November 1967-27 Desember 1967), sebelum aparat menyerbu kampus
tersebut. Sejak itu perlawanan meluas ke beberapa kota sepanjang
jazirah Italia. Alasan utama mahasiswa melakukan perlawanan adalah
karena kondisi akademis yang otoriter. Tradisi pedagogi dan kurikulum
menjadikan profesor-profesor di sana dapat mengajar dengan seenaknya
sendiri, misalnya, para professor di sana memberi kuliah dengan diktat
yang ditulisnya sendiri dan ujian hanya diambil dari diktat tersebut.
Tak ada ruang diskusi yang bebas dan kesempatan belajar dari sumber
lainnya. Selain itu, kurikulum yang disusun sangatlah kuno, seperti
silabus kuliah ilmu politik yang hanya sampai pada pemikiran JJ.
Rousseau. Keterbatasan dan kekakuan akademis ini membuat mahasiswa
‘terkurung’ dalam kegiatan akademisnya sendiri. Oleh karena itu, agenda
utama perlawanan mereka adalah kritikan atas kondisi akademis tersebut.
Untuk mencapai itu, gerakan mahasiswa berusaha memperluas jangkauannya
dengan keluar dari Turin, tentu dengan mengubah tuntutan secara praktis
menjadi ‘Lawan Otoriterianisme.’ Tujuannya jelas agar diikuti seluruh
mahasiswa di Italia. Efeknya dalam dua bulan (Januari-Februari 1968),
gerakan mahasiswa ini meluas hingga seluruh kota di Italia. Tidak hanya
terdiri dari elemen mahasiswa saja, tetapi juga pelajar dan para buruh
FIAT. Hal ini kemudian menyita perhatian publik dan membuat pemerintah
tak tinggal diam. Represivitas terjadi dalam menghentikan perlawanan
ini, sehingga setidaknya 2000 mahasiswa ditangkap dengan berbagai
tuduhan. Kenyataan gerakan di Italia ini kemudian berhasil mengubah
struktur akademis dan memaksa para professor melihat kembali kurikulum
di dalam kampus. Juga mengubah kebijakan pendidikan nasional ke arah
yang lebih egaliter dan terbuka.[2]
Gerakan mahasiswa di Spanyol dilatarbelakangi dua hal, yaitu krisis
dan perlawanan terbuka kepada rezim Franco dan kondisi internal
Universitas. Secara umum, mahasiswa merupakan entitas yang kecil di
Spanyol pada tahun 1965.[3]
Kondisi ini disebabkan oleh mahalnya biaya kampus dan sedikitnya
subsidi dari pemerintah, sehingga mahasiswa dari kalangan buruh dan
petani sangatlah kecil padahal mayoritas masyarakat berasal dari dua
kelas tersebut. Hal ini kemudian diperparah dengan sulitnya mencari
pekerjaan bagi para sarjana setelah lulus dari kampus.
Selain kondisi di atas, kooptasi rezim Franco dalam kampus sangatlah
besar, termasuk dalam serikat mahasiswa. Hanya satu serikat mahasiswa
yang diakui di Spanyol, yaitu Sindicato Espanol Universitario (SEU).
Pimpinan serikat ini dipilih oleh pemerintah, meski akhirnya diberikan
keleluasaan pada mahasiswa untuk memilih sendiri. Namun, mahasiswa
tidaklah puas dengan hal tersebut dan kemudian mereka membuat serikat
baru yang dinamakan Federacion Universataria Democratica de Espana
(FUDE) dan ADEC. Keduanya kemudian melebur menjadi Confederacion
Democratica de Espana (CUDE). Setelah terbentuknya serikat baru ini,
mahasiswa mulai berani mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah,
termasuk dalam hal serikat mahasiswa di kampus. Kritik mereka pada
sistem Universitas kemudian merembet pada isu politik nasional.
Reli-reli protes selalu dihadapkan pada bentrokan dengan aparat
kepolisian. Guna menghadapi itu, mahasiswa kemudian membuka jaringan
dengan buruh karena memiliki kesamaan isu, yaitu kebebasan berserikat.
Rezim Franco yang fasis dan totaliter dijadikan musuh bersama karena
memang dianggap sebagai akar masalah. Aliansi ini disahkan dengan mogok
bersama pada tanggal 1-3 Mei 1968. Hal ini kemudian berakibat pada
bentrokan dan penagkapan besar-besaran pada aktivis mahasiswa dan buruh.
Namun perjuangan bersama antara mahasiswa dan buruh terus berjalan
hingga rezim Franco runtuh.
Gerakan mahasiswa juga terjadi di Perancis, yang paling terkenal pada
tahun 1968. Banyak versi yang menceritakan hal ini, namun bila
mengikuti alur cerita dari Ernest Mandell, faktor utama dari protes
mahasiswa di Perancis adalah adanya alienasi dalam kehidupan mahasiswa
yang disebabkan oleh kampus. Mahasiswa dihadapkan pada sistem, struktur,
dan kurikulum yang membuat mahasiswa semakin terk-eksklusi dari
kehidupannya sendiri. Kampus membuat sistem ‘proletariat baru’ sehingga
mereka tak diperkenankan dalam menentukan kehidupannya di kampus dan
berpartisipasi dalam menentukan kurikulum. Semua sistem, struktur, dan
kurikulum ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri. Mahasiswa
tidak belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, tetapi diatur secara
sistemik dalam kerangka besar untuk memenuhi kebutuhan industri. Hal ini
kemudian menjadikan mahasiswa mulai protes terhadap kampusnya terkait
permasalahan kampus. Setelah beberapa waktu, akhirnya mereka menyadari
jika akar permasalahan bukanlah di kampus, tetapi sistem yang mengatur
masyarakat secara luas, kampus dianggap hanya salah satu bagian dari
masyarakat. Pola perlawanan pun bergeser. Mahasiswa kemudian berafiliasi
dengan buruh dan elemen masyarakat lain untuk menentang sistem yang
menyebabkan ‘alienasi’ tersebut, yaitu kapitalisme. Perlawanan meluas
tak hanya di kampus saja, tetapi hampir di seluruh wilayah Perancis.
Pertarungan ini naik-turun selama periode 1968 dan mempengaruhi
kenyataan politik di Perancis masa itu.[4]
Berangkat dari Realisme, Menuju Emansipatoris
Bila kita perhatikan bersama terdapat beberapa pembelajaran dari
gerakan mahasiswa di atas. Pembelajaran ini berkaitan dengan pembacaan
realitas atas kondisi. Dari beberapa kasus, setiap gerakan mahasiswa
umumnya berangkat dari permasalahan yang ada di sekitar mereka, hal itu
kemudian diabstraksikan ke arah yang lebih mendasar untuk mencari akar
masalahnya. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa selalu bermula dari
realitas di sekitarnya, dari sesuatu yang real, dan kemudian
diproblematisasi. Bila mengikuti logika ini, maka gerakan mahasiswa di
atas melihat permasalahan dengan kacamata realisme kritis.
Berangkat dari realisme merupakan kunci dalam melihat permasalahan.
Lantas kemudian timbul pertanyaan, hal seperti apa yang disebut sebagai
realitas? Atau apakah yang disebut dengan realisme? Sebelum itu, mari
kita bedah apa yang disebut dengan realisme. Realisme adalah sebuah
pemahaman yang melihat kenyataan sebagai hal yang terpisah dari diri
pengamat. Dalam hal ini, kenyataan menjadi sesuatu yang ada secara in heren
di luar diri pelaku, walau pelaku itu ada atau tidak. Hal ini
berbanding terbalik dengan idealisme yang melihat kenyataan sebagai
sesuatu yang ada karena idea di kepala mengatakan hal tersebut
ada. Artinya, kenyataan ditetukan oleh pikiran atau anggapan seseorang.
Dari perspektif realis, gerakan mahasiswa memandang jika permasalahan
sosial sebagai sesuatu yang ada secara real di luar diri mereka.
Ada atau tidak adanya gerakan mahasiswa, realitas permasalahan itu ada
di masyarakat. Melihat hal tersebut, gerakan mahasiswa kemudian muncul
sebagai respon terhadap hal tersebut. Namun, perlu diingat bahwa
kemunculan gerakan mahasiswa tidak selalu disyaratkan secara
deterministik oleh permasalahan secara real itu.
Realisme kritis sendiri memiliki tiga tingkatan aspek ontologis,
yaitu (a) realitas empirik (realitas yang dapat dijumpai dengan panca
indera), (b) realitas aktual (realitas yang dijumpai dalam ruang dan
waktu), dan (c) realitas ‘real’ (realitas yang bersifat transfaktual dan
lebih bertahan daripada persepsi kita karena ia berisi struktur yang
memiiliki kapasitas kuasa dan menjadi dasar terdalam dari
peristiwa-peristiwa yang diobservasi muncul).[5]
Hubungan dari ketiga realitas tersebut terjadi secara sebab-akibat.
Artinya realitas (a) disebabkan oleh realitas (b) dan disebabkan oleh
realitas (c). Sehingga, realitas (a) merupakan manifestasi secara
empirik dari realitas (c). Oleh karena itu, realisme kritis selalu
mensyaratkan untuk mendapatkan realitas yang ‘real’ atau sejati dalam
fenomena sosial, maka dibutuhkan sebuah cara untuk melampaui realitas
empirik dan realitas aktual tadi dan berusaha tak terjebak dalam
keduanya. Hal ini seperti apa yang dipaparkan Roy Bhaskar, bahwa pertama, dunia ada secara independen dari anggapan-anggapan kita terhadapnya sekaligus terdiferensiasi dan terstratifikasi; kedua, fenomena sosial muncul dari dalam relasi struktur menjadi aktual kemudian tampil secara empiric; ketiga,
sehingga untuk mempelajari fenomena sosial, seseorang harus memulai
dari bidang empirik, tetapi tidak boleh berhenti di situ saja melainkan
harus terus bergerak ke bidang aktual hingga mendapatkan pemahaman di
tingkat relasi-relasi terdalam dari struktur, yaitu kuasa.[6]
Melihat pengalaman dari gerakan mahasiswa di atas, gerakan mahasiswa
dapat dikatakan berangkat dari realitas empirik karena permasalahan yang
di hadapi dapat ditangkap oleh pancaindera dan langsung berkaitan
dengan kehidupan mereka. Di Amerika Latin hal itu dimulai dari
permasalahan otonomi akademik, di Italia dari otoritarianisme akademik,
di Spanyol karena kekangan berorganisasi, dan di Perancis karena
‘proletarianisasi’ kampus. Semuanya berangkat dari permasalahan yang
empirik di hadapan mereka. Namun, seperti paparan Bhaskar tadi, untuk
mendapatkan realitas yang ‘real,’ mereka tidak berhenti pada tataran
permasalahan empirik saja, tapi terus melaju untuk melewati permasalahan
aktual dan menuju permasalahan terdalam yang berasal dari relasi
struktur, yaitu kuasa. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa dari Amerika
Latin, Italia, Spanyol dan Perancis kemudian menyadari jika permasalahan
yang terjadi di dunia akademik mereka bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri. Terdapat realitas lain yang menjadi sumber permasalahan mereka,
permasalahan inilah yang disebut sebagai realitas ‘real.’ Realitas
‘real’ berhubungan dengan relasi kuasa secara struktural yang menjadi
akar permasalahan itu. Itulah mengapa kemudian mereka bergerak maju
menuju sesuatu yang lebih besar untuk menyelesaikan permasalahan yang
sejati atau ‘real’ tersebut. Di Amerika Latin gerakan mahasiswa kemudian
menuntut dijatuhkannya otoritarianisme pemerintah, di Italia menuntut
sistem akademik dalam tingkat nasional, di Spanyol menyerang fasisme
Franco, dan di Perancis kemudian menyerang sistem kapitalisme
pendidikan. Hal itu dilakukan saat mereka menemukan realitas ‘real’
tersebut dalam konteks saat itu.
Pembelajaran yang didapatkan dari pembacaan realitas yang telah
dilakukan oleh kawan-kawan gerakan mahasiswa beberapa tahun lalu, dapat
memberikan gambaran kepada gerakan mahasiswa sekarang untuk melihat
permasalahan secara kritis. Berangkat dari realisme, dalam hal ini tentu
dengan asumsi realisme kritis, adalah untuk mendapatkan gambaran
struktur permasalahan sosial dengan kacamata ontologisme tersebut.
Jargon bahwa mahasiswa berangkat dari realisme harus dijabarkan dengan
asumsi seperti di atas. Mahasiswa berangkat dari realitas atau fenomena
sosial secara empirik kemudian menuju sesuatu sesuatu yang ‘real,’ yang
menjadi akar permasalahan tersebut. Sekaligus tidak terjebak dalam
realitas empirik dan aktual saja. Pembacaan realitas yang demikian,
menurut saya, tak hanya untuk permasalahan yang tunggal saja. Analisa
terhadap perkembangan isu sosial kemasyarakatan yang berlangsung secara
paralel perlu untuk dilakukan dengan analisa seperti di atas, sehingga
gerakan mahasiswa tak hanya berkutat pada satu isu ke isu lainnya saja,
yang itu sebenarnya hanya realitas empirik. Perlu penarikan secara
ontologis untuk melihat realitas ‘real’ yang terjadi. Permasalahan
‘real’ ini yang menjadi basis permasalahan untuk dihajar.
Penjabaran satu bagian telah dilewati, yaitu berangkat dari mana
gerakan mahasiswa. Maka selanjutanya yang perlu kita upas, menuju
kemanakah gerakan mahasiswa ini? Setelah realitas ‘real’ didapatkan
lantas untuk apa diselesaikan?
Dalam pikiran saya, perjuangan gerakan mahasiswa menuju pada satu
kata, yaitu emansipatoris. Perjuangan ini secara singkat bertujuan untuk
humanisasi kehidupan manusia. Dalam pengertian humanisasi, pembebasan
manusia dari belenggu yang diciptakan permasalahan secara ‘real’ tadi
berusaha dilepaskan. Perjuangan emansipatoris berkaitan dengan sisi
aksiologis dari ilmu pengetahuan yang menjadi domain mahasiswa selama
ini. Dengan perjuangan emansipatoris, ilmu pengetahuan tak hanya
berkutat di dunia kampus dan bebas nilai dalam menilai permasalahan.
Ilmu pengetahuan yang emansipatoris mensyaratkan keberpihakan dan
berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Begitu pula gerakan
mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika, maka keberpihakan dan
terlibat dalam penyelesaian masalah sosial menjadi hal yang terhubung
dengan perjuangan emansipatoris.
Dalam diri emansipatoris ini, keberpihakan menjadi arahan untuk
menciptakan kesetaraan bagi subyek yang diperjuangkan. Selain itu,
keberpihakan menjadi jaminan jika perjuangan mahasiswa bukanlah hal yang
bebas nilai dan nihil. Terdapat subyek yang menjadi dasar analisa
bagaimana perjuangan diarahkan dan ukuran kemenangannya. Sedangkan,
aspek keterlibatan dalam penyelesaian masalah menjadi domain pembebasan
bagi yang diperjuangkan oleh gerakan mahasiswa. Pembebasan ini merupakan
langkah humanisasi dari belenggu permasalahan ‘real’ di atas. Dalam
perjuangan emanispatoris ini, gerakan mahasiswa dituntut untuk terus
kontinyu dalam denyut gerakan sosial masyarakat.
Hal tersebut dapat kita lihat dari pembelajaran gerakan mahasiswa di
atas, bagaimana perjuangan mereka diarahkan ke perjuangan emansipatoris.
Gerakan mahasiswa setelah menemukan realitas ‘real’ nya, diarahkan
untuk membebaskan diri dari belenggu itu, sekaligus menggabungkan diri
dengan sektor lain di masyarakat untuk menghapuskan belenggu yang
dihasilkan oleh realitas ‘real’ tadi. Penggabungan diri ini dilakukan
karena pada umumnya permasalahan ‘real’ merupakan akar permasalahan bagi
banyak permasalahan empirik yang sifatnya multi sektoral. Oleh karena
itu, menurut saya, perjuangan emansipatoris tak dapat dilakukan dengan
sendirian oleh gerakan mahasiswa. Penggabungan diri dengan gerakan lain
di masyarakat perlu dilakukan dalam rangka pembebasan belenggu dari
permasalahan yang berakar pada relasi struktur tadi.
Penutup
Melalui tulisan ini, pembelajaran atas pembacaan realitas yang
dilakukan gerakan mahasiswa di berbagai belahan dunia menjadi hal yang
penting. Setidaknya, bagaimana gerakan ini berangkat dan menuju ke arah
mana. Analisa atas hal tersebut perlu mendapatkan porsi yang seimbang
dalam dunia gerakan mahasiswa sekarang agar tak menjadi ‘kerbau liar’
dalam dunia gerakan masyarakat.
Dengan analisa di atas, dalam hemat saya, gerakan mahasiswa saat ini
harus berangkat dari realisme dan menuju perjuangan emansipatoris.
Dengan ini berarti menyadari jika permasalahan sosial telah ada di luar
sana, maka hal yang perlu dilakukan berikutnya adalah analisa untuk
menemukan relasi-relasi struktur yang menjadi akar permasalahan
sekarang, untuk menuju suatu realitas yang ‘real.’ Hal ini yang
dimaksudkan dengan term Berangkat dari Realisme. Selanjutnya, adalah
pengarahan untuk menuju arena pembebasan yang dilakukan secara
bersama-sama dengan elemen masyarakat lain untuk menuju sebuah
perjuangan yang emansipatoris. Perjuangan ini bertujuan untuk
membebaskan masyarakat dari belenggu permasalahan yang diciptakan oleh
permasalahan ‘real’ tadi. Hal demikian menjadi tujuan dari gerakan
mahasiswa saat ini. Penjelasan tersebut, yang menurut saya, menjadi
jawaban dari mana dan kemanakah arah gerakan mahasiswa saat ini (harus)
bergerak.***
Depok, 24 Maret 2013
Sehari sebelum Isu Kudeta akan dilancarkan
[1] Alex Supartono, Mahasiswa Bergerak: Belajar dari Perlawanan dan Perjuangan Internasional 1960-an, (Jakarta: YLBHI, 1999), hlm. 1
[2] Lihat selengkapnya dalam Alex Supatono, ibid. hlm. 22-27.
[3] Jumlah mahasiswa di Spanyol padaa tahun itu 75.000 dari 31 juta penduduk. Lihat Alex, ibid. hlm. 28.
[4] Lihat selengkapnya dalam Dicky Dwi Ananta, Melihat Kembali Gerakan Mahasiswa: Antara Teori dan Praktek, diunduh dari http://www.prp-indonesia.org/2012/melihat-kembali-gerakan-mahasiswa-antara-teori-dan-praktek diakses pada 24 Maret 2013 pukul 14.23 WIB
[5] Roy Bhaskar dalam Robertus Robert,’Realisme Kritis dan Pendasaran Filosofis Ilmu Sosial,’ Komunitas: Jurnal Sosiologi, Volume 2 Tahun 2007, hlm. 83.