Transformasi Organisasi
Dalam
pengembangan organisasi (PO) adapula saat organisasi tersebut melakukan
perubahan untuk masa depan organisasi atau biasa disebut dengan transformasi
organisasi (TO). Kiranya relevan untuk menegaskan kembali bahwa terdapat
perbedaan konsep dan teknik antara pengembangan organisasi dan transformasi
organisasi. Seperti diketahui pengembangan organisasi menggunakan pendekatan
gradual (bertahap) dalam mewujudkan perubahan, termasuk perubahan yang bersifat
strategis dengan sorotan perhatiandan upaya pada proses pengembangan yang
pelaksanaannya bersifat partisipatif. Sebaliknya, transformasi organisasi
mengandung makna bahwa upaya perubahan yang dilakukan bersifat drastic dan
mendadak yang diarahkan pada tiga faktor organisasional, yaitu : (a.) struktur
organisasi sebagai keseluruhan, (b.) proses manajemen, dan (c.) kultur
organisasi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perubahan yang besifat transformasional berarti
tiga hal, yaitu :
1. Transisi
berskala besar yang secara fundamental mengubah cara yang digunakan oleh suatu
organisasi berinteraksi dengan lingkungannya, caranya menjalankan bisnis,
caranya berproduksi dan berbagai faktor strategis lainnya.
2. Bila
perubahan yang terjadi bersumber dari berbagai faktor ketidakpastian dalam
lingkungan eksternal seperti deregulasi, debirokratisasi, pengambil alihan,
persaingan baru dan sejenisnya memaksa para manajer bertindak reaktif padahal
yang diperlukan adalah sikap yang proaktif, perubahan yang berlangsung dengan
kecepatan tinggi.
3. Dalam
kondisi krisis demikian, tidak ada pilihan bagi manajemen kecuali melaksanakan
transformasi organisasi, sebab apabila tidak dipertaruhkan adalah kelangsungan
keberadaan organisasi yang bersangkutan.
Dari
pembahasan di atas kiranya menjadi jelas bahwa strategi pelaksanaan
transformasi organisasi berlaku pada saat organisasi menghadapi krisis sebagai
akibat perubahan yang terjadi dengan cepat pada lingkungan eksternal
organisasi. Berangkat dari kondisi demikian, ciri-ciri transformasi yang perlu
dikenali adalah sebagai berikut :
a. Diskontinuitas Lingkungan,
transformasi diperlukan apabila perubahan yang terjadi pada lingkungan telah
sedemikian rupa sehingga cara mengemudikan dan menjalankan roda organisasi
berdasarkan strategi dan praktek-praktek manajerial yang lama tidak dapat
digunakan lagi.
b. Perubahan yang Bersifat
Revolusioner, pelaksanaan transformasi organisasi
dapat dikatakan bersifat revolusioner karena yang terjadi ialah berlangsungnya pergeseran
yang cepat dan mendadak dalam cara organisasi berfungsi, misalnya mengambil
tindakan memperkecil besaran organisasi atau melakukan restrukrisasi yang
sifatnya mendasar.
c. Perubahan Pendekatan Mewujudkan
Perubahan, menyelenggarakan transformasi organisasi biasanya
menggunakan pendekatan direktif. Pendekatan transformasi organisasi adalah
pendekatan “dari atas ke bawah” karena :
-
Manajemen yang memprakarsai perubahan
-
Manajemen yang memutuskan kapan prakarsa
itu akan diambil
-
Manajemen yang memutuskan bentuk, sifat
dan jenis perubahan yang akan dibuat
-
Manajemen yang menetapkan waktu
pelaksanaan perubahan
-
Manajemen pulalah yang menunjuk siapa
yang akan diserahi tanggung jawab untuk melaksanakan keputusan yang menyangkut
perubahan dimaksud
Ada
tiga dimensi yang harus diperhatikan dalam hal ini, yaitu ; (a.) kerangka waktu
perubahan, apakah jangka panjang atau pendek, (b.) tingkat dukungan dari kultur
organisasi, dan (c.) bentuk, jenis dan tingkat ketidakpastian lingkungan.
Dengan memperhatikan tiga dimensi tersebut, akan dikenali empat tipologi
strategi perubahan yang dapat digunakan.
1. Strategi berdasarkan pendekatan
evolusi partisipatif. Strategi ini digunakan apabila yang
menjadi sasaran adalah memelihara kondisi yang sudah ada tentang kesesuaian
organisasi dengan lingkungannya sambal mengantisipasi terjadinya perubahan.
2. Transformasi yang bersifat
kharimatik. Strategi ini digunakan apabila sasarannya ialah
melakukan perubahan yang sifatnya radikal dalam waktu yang singkat dan kultur
organisasi mendukungnya.
3. Evolusi yang dipaksakan.
Strategi ini digunakan dalam hal perubahan yang diperlukan tidak bersifat
mendasar dan berlaku untuk jangka panjang, akan tetapi kultur organisasi tidak
mendukungnya.
4. Transformasi dictatorial.
Strategi ini tepat digunakan mewujudkan perubahan dalam hal organisasi
menghadapi krisis, restrukturisasi diperlukan meskipun diketahui bahwa
restrukturisasi bertentangan dengan kepentingan kultur organisasi yang sudah
mapan.
Kultur Organisasi
Kultur
organisasi merupakan penggabungan antara gaya kepemimpinan manajemen puncak dan
norma-norma, system nilai serta keyakinan para anggota organisasi. Kultur
organisasi sangat penting karena hubungannya yang sangat erat dengan
efektivitas organisasi. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa organisasi
yang memiliki kultur yang kuat mampu :
a. Meningkatkan
produktivitasnya
b. Menumbuhsuburkan
semangat kebersamaan di kalangan para anggotanya
c. Meningkatkan
“rasa memiliki organisasi”
d. Memperbesar
perolehan keuntungan
Karena
pentingnya peranan kultur dalam meningkatkan efektivitas organisasi, ciri-ciri
kultur organisasi perlu dikenali dengan baik. Ciri-ciri tersebut meliputi :
1. Otonomi
individual yang memungkinkan para anggota organisasi untuk memikul tanggung
jawab yang lebih besar, kebebasan menentukan cara yang dianggap paling cepat
untuk menunaikan kewajiban dan peluang untuk berprakarsa.
2. Struktur
organisasi yang mencerminkan berbagai ketentuan formal dan normative serta
bentuk penyeliaan yang digunakan oleh manajemen untuk mengarahkan dan
mengendalikan perilaku para anggota.
3. Perolehan
dukungan, bantuan dan “kehangatan hubungan” dari manajemen kepada para
bawahannya.
4. Pemberian
perangsang dalam berbagai bentuk, seperti kenaikan upah dan gaji secara berkala
serta promosi, yang didasarkan pada kinerja seseorang, bukan semata-mata karena
senioritasnya.
5. Pengembalian
risiko dalam arti dorongan yang diberikan oleh manajemen kepada para bawahannya
untuk bersikap agresif, inovatif, dan memiliki keberanian mengambil risiko.
Implikasi kuat tidaknya
kultur organisasi
Kultur sedang (Bergerak)
|
Kultur Kuat •
|
Kultur Lemah
•
|
Kultur Sedang (Stabil)
|
Rendah Tinggi
Matriks Strategi-Kultur
Berbagai
perubahan yang sifat strategisnya hanya dapat dilaksanakan dengan
memperhitungkan kultur organisasi. Agar resiko yang mungkin timbul dalam
melakukan perubahan dapat dikendalikan, perlunya perubahan dan tingkat
keterkaitan perubahan tersebutdengan kultur harus dipertimbangkan sekaligus
karena satu faktor berdampak pada faktor – faktor yang lain. Empat alternative
dasar dalam menentukan perubahan – perubahan yang strategis ialah:
- Kelola perubahan, yang berartii risiko dapat dikendalikan
- Perkuat kultur, karena risiko yang akan dihadapi tidak besar
- Kelola perubahan sekitar kultur, berarti risiko dapat dikendalikan
- Ubah strategi agar sesuai dengan kultur organisasi, karena apabila tidak, risiko yang mungkin timbul besar.
Matriks Strategi – Kultur
Source : An Experiental to Organization Development 7th
edition, By Donald R. Brown and Don Harvey
Pertama: Mengelola
Perubahan dengan Risiko yang Dapat Dikendalikan.
Alternatif ini ditempuh apabila organisasi melakukan perubahan yang bersifat
strategis yang kompatibel dengan kultur yang terdapat dalam organisasi yang
bersangkutan. Karena risiko yang mungkin timbul dapat dikendalikan oleh
organisasi, organisasi dapat melanjutkan upayanya melakukan perubahan –
perubahan yang bersifat strategis dengan bermodalkan penerimaan para anggota –
sebab kultur tidak diubah – dengan:
a) Menekankan
pentingnya berbagi visi dalam arti bahwa perubahan yang akan dilakukan
berkaitan dengan tujuan dan misi organisasi serta membangun masa depan
organisasi berdasarkan kekuatan yang dimilikinya disertai oleh langkah –
langkah yang sah menurut pandangan para anggota
b) Melakukan
pergeseran kekuasaan dengan menempatkan tenaga – tenaga unci pada kedudukan
penting dalam melaksanakan perubahan yang akan dilakukan
c) Memperkuat
system nilai yang baru akibat perubahan dalam berbagai bidang dan fungsi
organisasi dengan struktur dan system imbalan yang baru.
Kedua: Perkuat Kultur
karena Risiko tidak Besar. Alternatif ini tepat untuk
ditempuh apabila organisasi dihadapkan pada perlunya perubahan strategis
berskala kecil dan perubahan tersebut kompatibel dengan kultur yang berlaku.
Jika alternatif ini yang akan ditempuh, konsultan harus menekankan berbagai
hal, seperti: memperkokoh visi tentang strategi baru yag menekankan rasa
memiliki sistem nilai yang kuat, memperkokoh dan lebih memantapkan kultur yang
ada.
Ketiga:
Mengelola Perubahan Sekitar Kultur karena
Risiko dapat Dikendalikan. Jika alternatif ini hendak ditempuh, manajemen
harus menyadari bahwa kondisi yang dihadapi oleh organisasi ialah bahwa
perubahan strategis perlu dilakukan, akan tetapi berbagai perubahan tersebut
tidak kompatibel dengan kultur organisasi. Pertanyaan yang harus terjawab
sebelum perubahan dilakukan ialah: Jika alternatif ini ditempuh, bagaimana
kemungkinan keberhasilannya? Mengelola perubahan sekitar kultur berarti
berupaya tidak menghadapi resistensi terhadap perubahan secara frontal. Caranya ialah dengan menggunakan berbagai
pendekatan tertentu, seperti: penguatan sistem nilai, lakukan pergeseran
kekuasaan agar orang – orang kunci mampu memainkan peranan yang dominan dan
menggunakan “senjata perubahan” seerti proses anggaran reorganisasi.
Keempat:
Mengubah Strategi karena Risiko yang Mungkin Timbul Besar. Langkah ini ditempuh
apabila manajemen merasa bahwa berbagai perubahan yang bersifat strategis harus
dilakukan, akan tetapi perubahan yang bersifat strategis harus dilakukan, akan
tetapi perubahan tersebut tidak kompatibel dengan kultur yang sudah mapan dalam
lingkungan organisasi. Apabila suatu organisasi menghadapi situasi demikian,
tingkat resistensi akan tinggi dan risiko ketidakberhasilan pun akan besar.
Situasi seperti itu menuntut konsultan dan kliennya memutuskan apakah upaya
melakukan perubahan yang dirasakan mendasar dan strategis tersebut akan
dilanjutkan atau tidak. Dengan perkataan lain, harus ada jaminan bahwa
perubahan strategis itu akan berhasil. Apabila tidak, organisasi harus mengubah
strateginya sedemikian rupa sehingga “lebih seirama” dengan kultur yang
terdapat di dalamnya.
Pengelolaan Perubahan Strategis
Pengelolaan perubahan strategis pada
dasarnya berarti pengintegrasian berbagai bentuk intervensi strategi yang telah
dibahas di muka. Artinya, menyerasikan dan menyelaraskan berbagai faktor,
seperti strategi organisasi, struktur, sumber daya manusia dan lingkungan
organisasi. Perubahan strategis merupakan “produk” upaya integrasi tersebut.
Dalam hubungan ini perlu disadari
bahwa suatu organisasi pada hakikatnya terdiri dari tiga sistem, yaiitu sistem
yang bersifat teknikal, sistem yang bersifat politik, dan sistem yang bersifat
kultural. Yang dimaksud dengan sistem teknikal ialah sistem yang berkaitan
dengan pemecahan berbagai masalah yang dapat mencakup misi organisasi, strategi
dan struktur. Kesemuanya dimaksudkan untuk peningkatan produktivitas
organisasi. Sistem politik dalam suatu organisasi digunakan untuk memecahkan
berbagai masalah yang ada kaitannya dengan alokasi berbagai sumber seperti
alokasi kekuasaaan, wewenang, sarana, prasarana, dana, daya dan sumber daya
manusia. Khusus dalam bidang sumber daya manusia, sistem politik juga mencakup
sistem imbalan, pola pengembangan karir, promosi, alih tugas, alih wilayah, dan
pemutusan hubungan kerja. Sistem kultural menyangkut pemecahan berbagai masalah
nilai yang pada gilirannya berkaitan dengan jawaban terhadap pertanyaan tentang
sifat dan jenis berbagai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, cara yang akan
digunakan dan pemanfaatan serta pembagian hasil.
Sudah tentu langkah – langkah yang
sepantasnya diambil untuk melakukan perubahan tergantung pada banyak faktor.
Akan tetapi betapa banyak pun fakktor yang harus diperhitungkan, tiga langkah
ini layak untuk dipertimbangkan.
Pertama: Kembangkan citra organisasi
yang diinginkan dengan menyelaraskan ketiga sistem tersebut di atas. Artinya,
perubahan dimulai dengan suatu visi strategis tentang bntuk dan kondisi
organisasi yang diharapkan terwujud. Dengan kata lain, visi yang dikembangkan
harus mencakup ketiga sistem yang sudah diselaraskan itu dan memberikan
gambaran tentang profil organisasi d masa depan setela ketiga sistem tersebut
diselaraskan.
Kedua: Memisahkan ketiga sistem dan
melakukan intervensi pada masing – masing. Biasanya ketiga sistem itu saling
menguatkan. Oleh karena itu perlu dijamin bahwa ntervensi yang dilakukan tepat
dan barulah perubahan strategis yang diinginkan terwujud.
Ketiga: Buat rencana untuk
menghubungkan kembali ketiga sistem. Setelah intervensi strategi dilakukan
secara terpisah untuk masing – masing sistem, perlu menentukan cara apa yang
akan ditempuh untuk menghubungkannya
kembali. Rencana untuk menghubungkan kembali ketiga sistem itu akan menentukan
apakah ketiga sistem akan mwujudkan kondisi organisasi yang diinginkan atau
visi yang didambakan itu berhasil dilakukan.
Dari pembahasan diattas kiranya
menjadi jelas bahwa adanya kultur organisasi yang kuat dapat berakibat positif
pada kineerja unggul dalam suatu organisasi. Pengalaman juga menunjukkan bahwa
organisasi yang menghadapi diskontinuitas – dalam arti tidak selaras dengan
lingkungannya – mungkin memerlukan perubahan kultur berskala besar. Akan tetapi
harus disadari bahwa mengubah kultur suatu organisassi bukanlah ppekerjaan yang
mudah atau sederhana. Salah satu alas an utamanya adalah bahwa para anggota
organisasi meraih keberhasilan di masa lalu.
Dari sudut inilah pentingnya
perubahan kultur yang bersifat khas bagi suatu organisasi harus dilihat karena
suatu kultur yang tepat dapat merupakan sumber keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan bagi organisasi apabila kultur yang bersifat khas itu tidak dapat
atau sulit ditiru organisasi lain. Dengan kata lain, apabila suatu organisasi tidak
mampu atau tidak berhasil mengubah kulturnya, yang dipertaruhkan adalah kemunduran, organisasi bahkan mungkin
kehancuran organisasi.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan
bahwa terdapat lima alas an yang merupakan pembenaran terjadinya perubahan
kultur berskala besar, yaitu:
- Apabila suatu organisasi memiliki kultur yang kuat tetapi tidak sesuai dengan lingkungan yang berubah
- Apabila industri dalam lingkungan mana organisasi bergerak sangat kometitif dan berubah dengan kecepatan tinggi
- Apabila organisasi menampilkan kinerja yang tidak memuaskan
- Apabila suatu organisassi akan bergabung dengan organisasi besar lainnya
- Apabila suatu organisasi masih kecil, akan tetapi bertumbuh dengan pesat
Jika
menghadapi salah satu kondisi diatas, kelompok pimpinan dalam suatu organisasi
harus mampu mengembangkan kultur organisasi yang inovatif, yang secara
filsafati dan operasional mengandung berbagai unsur seperti: mengakui dan
berupaya memuaskan berbagai kebutuhan para anggotanya, mendalami sejarah
organisasi, mengenali pasar secara tepat, menghasilkan barang dan atau jasa
yang diperlukan dan diminati oleh para pelanggan atau pengguna dalam kondisi
lingkungan yang bergerak sangat dinamis dan sangat cepat. Untuk menghadapi
tantangan seperti itu, diperlukan transformasi organisasi, bukan sekedar
pengembangan organisasi.
downloiad materi lengkap di sini: