Salah satu hobi saya adalah travelling. Beberapa kota yang pernah
saya kunjungi adalah Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, Purwokerto, Yogyakarta,
Surabaya, Semarang, Bogor, Kendari, Klaten, Purworejo, Malang, Lumajang,
Kediri, dan Makassar. Dari beberapa kunjungan ke kota-kota tersebut ada banyak
perbedaan. Salah satu perbedaan yang sangat mencolok adalah segi ekonomi dan
budaya. Dari sisi ekonomi, tentunya daerah di Jabodetabek lebih maju. Pada
tahun 2012 yang lalu, saya pernah mengunjungi rumah teman saya di sekitar Duri
Jakarta Pusat. Daerah Duri merupakan salah satu kawasan padat dan kumuh. Banyak
masyarakatnya bekerja sebagai buruh dan pedagang. Bahkan banyak pula yang
berjualan di pinggir rel kereta api. Padahal lokasi tersebut cukup berbahaya,
tetapi apa daya karena bagi mereka ada beban yang ahrus dipikul yaitu memenuhi
kebutuhan keluarga. Selain itu, lokasinya snagat kumuh. Banyak got kotor dan
hitam serta tida mengalir di kawasan tersebut. Dengan bau yang menyengat,
mereka seolah sudah terbiasa dengan kondisi tersebut. Saya yang mengunjungi daerah
tersebut, berpikir apa jadinya jika saya yang tinggal di daerah tersebut. Dan
daerah tersebut merupakan daerah satu-satunya. Salah satu hal yang terlintas
adalah tetap bertahan walau memang banyak kesulitan datang. Sehingga, dengan
lokasi yang sedemikian rupa tersebut, tentu akan membentuk budaya masyarakat
yang keras dan bebas. Kehidupan keras di Jakarta yang harus mengais rejeki pun
mereka harus terjang. Banyak pendatang yang justru dari luar Jakarta sehingga
budaya lokal dari Jakarta sendiri mulai luntur.
Di kota lain, yakni Makassar, saya
menemukan beberapa fenomena tentang kondisi masyarakat. Pada waktu itu, saya
bersama rekan saya menyempatkan untuk mampir ke salah satu warung makan sekadar
untuk melepas panasnya kota Makassar. Di tempat warung tersebut, saya menemui
bahwa penjual merupakan orang asli Makassar yang bersuku Bugis. Selain itu,
saya juga mengobrol dengan salah satu pria tua yang diketahuinya berprofesi
sebagai sopir taksi. Dari perbincangan ini, saya menemukan bahwa di Makassar
pun banyak orang pendatang dari luar Sulawesi terutama. Pria tua ini justru
berasal dari Jawa Timur dan merantau dengan keluarganya di Makassar. Mereka
yang merupakan orang Jawa juga sudah bisa berbahasa Sulawesi yang saya sendiri
masih asing mendengarnya. Disini kita bisa tahu bahwa dengan kita tinggal lebih
lama di suatu tempat, maka kita akan mampu beradaptasi dengan kebudayaan yang
ada di daerah tersebut.
Dari sisi ekonomi ini, rejeki bisa
didapatkan di mana saja, tinggal kita yang berusaha untuk mendapatkannya.
Dengan kondisi siang hari yang sangat panas, saya membeli es teh. Lalu saya
minum, benar-benar melegakan dahaga yang sangat panas. Sembari menyerubut es
teh, saya juga bermain catur dengan orang Makassar tersebut. Dengan bermain
ini, kami saling berbagi cerita tentang kehidupan. Permainan catur ini berakhir
dengan kekalahan.
Kita beralih ke kota Kendari. Kota
Kendari ini merupakan ibukota provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari ini memiliki
daerah yang panas dan berdebu. Kondisi ini terjadi pada musim kemarau, jika
pada musim hujan, maka Kota Kendari akan berubah menjadi kota yang becek dan
lembab. Kunjungan saya di Kendari selama seminggu ini, menuai banyak pengalaman
yang bisa didapatkan. Ternyata bahwa dari sektor pariwisata, Kendari memiliki
destinasi wisata yang sangat menarik. Dari sisi ekonomi, banyak masyarakat
bekerja sebagai nelayan di pesisir, pedagang, dan petani. Jumlah penduduknya
tidaj seberapa banyak. Namun, ketika kita melihat secara sekilas di Kendari,
kota ini ternyata menyimpan kemakmuran tersendiri. Banyak pembangunan yang
sedang berlangsung pada waktu itu berupa jalan raya, perhotelan, gedung
pertemuan, mal, dan gedung-gedung lain yang dijadikan sebagai penunjang di kota
ini. Kota Kendari memiliki mayoritas suku Tolaki dan Konawe. Kedua suku ini
hidup berdampingan. Namun, pada saat saya sedang berada di sana mendengar
sebuah cerita bahwa pernah terjadi pertikaian antara suku Tolaki dan Konawe.
Pertikaian ini terjadi diawali dari kampus Universitas Halu Oleo karena
perbedaan permahaman. Karena faktor ini, suku Tolaki lebih banyak mendapatkan
ancaman pembunuhan dengan clurit. Sehingga, bagi suku Tolaki harus menyimpan
kesukuan mereka dan rahasia yang mereka miliki pada waktu itu untuk menghindari
pembunuhan yang suku Konawe lakukan. Mendengar kejadian ini, ternyata
pertikaian antarsuku masih sering terjadi. Padahal mereka hidup berdampingan
untuk bersama-sama menjalani kehidupan masing-masing. Dari kejadian ini,
perlulah setiap suku harus menanamkan rasa menghargai dan menghormati satu sama
lain. Bukankan akan lebih indah jika banyak suku dapat hidup berdampingan
damai?
Jadi, secara umum dari kota-kota yang
pernah saya kunjungi, memiliki beberapa pembelajaran yang terkandung.
Pembelajaran ini tentunya didapat dari saya yang mengunjungi daerah tersebut.
Memang pengalaman yang seperti ini sangatlah berharga, karena kita dapat
mengetahui secara langsung kondisi masyarakat di luar daerah kita dari banyak
segi bisa dari sisi pendidikan, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Pengalaman
ini bisa menjadi bukti bahwa keragaman Indonesia memang benar adanya. Keragaman
inilah yang harus kita syukuri bahwa Indonesia memiliki keragaman dan ratusan
kebudayaan. Ada ratusan bahasa dan suku. Ada ribuan tujuan wisata yang menarik.
Maka, marilah kita sebagai pemuda Indonesia harus membuka mata kita. Dan terus
maju, karena hidup adalah petualang yang harus kita hadapi dengan penuh
pembelajaran.
@sukrisw