Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri
Prinsip
ini mengatakan bahwa kita wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai
suatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham
bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak yang
memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi. Oleh karena itu
manusia tidak pernah boleh dianggap sebagai sarana semata-mata demi
suatu tujuan yang lebih lanjut. Ia adalah tujuan yang bernilai pada
dirinya sendiri, jadi nilainya bukan sekedar sebagai sarana untuk
mencapai suatu maksud atau tujuan yang lebih jauh. Hal itu juga berlaku
bagi kita sendiri. Maka manusia juga wajib untuk memperlakukan dirinya
sendiri dengan hormat. Kita wajib menghormati martabat kita sendiri.
Prinsip
ini mempunyai dua arah. Pertama dituntut agar kita tidak membiarkan
diri diperas, diperalat, diperkosa atau diperbudak. Perlakuan semacam
itu tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlakukan demikian
jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia dapat melawan.
Kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan
sesuatu tidak pernah wajar, karena berarti bahwa kehendak dan kebebasan
eksistensial kita dianggap sepi. Kita diperlakukan sama seperti batu
atau binatang. Hal itu juga berlaku apabila hubungan-hubungan pemerasan
dan perbudakan dilakukan atas nama cinta kasih, oleh orang yang dekat
dengan kita, seperti oleh orang tua atau suami. Kita berhak untuk
menolak hubungan pemerasan, paksaan, pemerkosaan yang tidak pantas.
Misalnya ada orang yang didatangi orang yang mengancam bahwa ia akan
membunuh diri apabila dia itu tidak mau kawin dengannya, maka menurut
hemat saya sebaiknya diberi jawaban “silahkan!” dengan resiko bahwa ia
memang akan melalukannya (secara psikologis itu sangar tidak perlu
dikhawatirkan; orang yang sungguh-sungguh untuk membunuh diri biasanya
tidak agresif). Adalah tidak wajar dan secara moral tidak tepat untuk
membiarkan dia diperas, juga kalau kita mau diperas atas nama kebaikan
kita sendiri.
Yang
kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar, kita mempunyai
kewajiban bukan hanya terhadap orang lain, melainkan juga terhadap diri
kita sendiri. Kita wajib untuk mengembangkan diri. Membiarkan diri
terlantar berarti bahwa kita menyia-nyiakan bakat-bakat dan
kemampuan-kemampuan yang dipercayakan kepada kita. Sekaligus kita dengan
demikian menolak untuk memberikan sumbangan kepada masyarakat yang
boleh diharapkannya dari kita.