Ketika Dada Terasa Sakit
Siang itu pada harI Sabtu tanggal 12 Januari
2013, saya sedang berada di perpustakaan
pusat Universitas Brawijaya. Tujuan saya ke perpus adalah menemani teman saya
mencari materi tentang Akuntansi untuk Leasing. Saya dan teman saya yang
bernama Pebra segera menuju ke rak kumpulan buku Akuntansi. Buku yang dicari
merupakan karangan Kieso.
Buku demi buku kami cari di rak. Yap! Ketemu
juga buku karangan Kieso. Tetapi buku ini sangat tebal. Kalau dikira-kira
sekitar hampir 14 cm. Dan tentunya sangat berat. Kami ambil dua buku tebal itu
yang berbeda warna, kuning dan oranye. Segera kami buka dan ternyata buku itu
full English. Kami ketawa-ketawa kecil merasa ciut dengan buku itu. Kami tidak
begitu paham dengan buku itu yang tebal dan semua berbahasa Inggris.
Buku-buku tebal kami masih taruh di meja. Kami
cari buku yang lainnya yang tentunya berbahasa Indonesia agar bisa memahaminya.
Sudah mendapatkan beberapa buku dan belum juga ada materi yang menyinggungnya.
Saya segera mencari ke rak pada bagian yang paling bawah. Saya temukan buku
karangan Kieso juga Edisi Ketujuh jilid 1 dan 2. Kami buka di meja dan setelah
kami cari isinya tidak ada. Saya kembali ke rak yang tadi dan aku temukan buku
yang sama tetapi ini jilid 3. Saya bawa ke meja, saya lihat daftar isinya dan
saya temukan materi yang dicari, Akuntansi Untuk Leasing. Pebra sangat senang
ketika buku yang dicari sudah ditemukan. Kenudian membawanya ke bawah untuk
dipinjam.
Buku sudah ada di tas. Waktu sudah menunjukkan
pukul 11.52 dan tandanya sudah adzan. Memang sudah maka kami mencari masjid
yang terdekat. Saya mempunyai inisiatif kalau sholat dzuhurnya di masjid
Fatahillah Rektorat UB lantai 5. Kami datangi rektorat lantai 5 menuju ke
masjid Fatahillah. Kami gunakan lift dan sampai juga di lanati 5. Kami belok
kanan dan ku lihat masjid. Sepi, sunyi, hening. Tidak ada seorang pun di
sekitar itu. Hanya kami berdua. Segera kami menuju pintu masjid yang barang
kali tidak terkunci. Terkunci. Saya mengatakan kepada dia bahwa berarti setiap
hari Sabtu dan Minggu masjid tidak dibuka. Keadaan seperti ini membuat kami
harus mencari masjid yang lain. Saya mengusulkan untuk sholat di Student Center
saja. Dia menyetujuinya dan segera kami turun dengan lift yang sama.
Kami masuk ke dalam lift dan saya menekannya ke
lantai 1. Kami sedikit ngobrol tentang sesutau hal. Beberapa saat kemudian.
Grekkk! Lift seperti akan jatuh. Lift seperti akan lepas landas. Lift bermasalah.
Ada seperti hentakan dalam lift tersebut. Saya sendiri sangat kaget. Saya
sangat takut sekali pada waktu itu. Bahkan saya akan berpegangan pada tangan
Pebra takut kalau lift akan jatuh pikirku. Dada saya terasa sesak dan sakit.
Saya dan Pebra mengucapkan istighfar. Setelah beberapa saat, lift kembali
normal hingga kami berdua keluar dari lift yang akan bermasalah. Saya keluar
masih dalam keadaan shock. Sangat sakit rasa dada yang berusaha saya tenangkan.
Pebra justru mearasa tenang saja. Dia tidak sepanik yang saya rasakan. Dia
malah bercanda dalam situasi yang seperti itu. “Dua mahasiswa UB meninggal di
lift rektorat”, candanya sambil ketawa. Saya merasa heran saja. Tetapi, kami
sangat bersyukur masih diberi keselamatan. Alhamdulillah.
Kami segera mengendarai motornya menuju ke SC
(Student Center) untuk sholat dzuhur. Hari itu benar-benar merasa panik dengan
kejadian di lift rektorat. Dalam hati saya berpikir, mengapa lift bisa seperti
itu ya? Jawaban dari pertanyaan itu yang tidak bisa saya jawab. Yang penting
kami masih diberi keselamatn pada waktu itu. Terima kasih ya Allah.
Dalam
keadaan apapun memang kita harus tenang pikiran kita. Meskipun itu dalam kondisi
yang hampir merenggut nyawa kita. Selanjutnya, bersyukurlah terhadap apapun
yang kita nikmati di dunia ini.