Pemuda hari ini
adalah pemimpin esok hari. Kata-kata tersebut tentu sudah tidak asing lagi
terdengar di telinga kita. Setiap ada acara yang berkaitan dengan kepemudaan
ataupun melibatkan pemuda, entah itu acara formal maupun informal kata-kata
tersebut seperti senjata ampuh yang berfungsi untuk mengingatkan kita akan
betapa pentingnya peran kita, peran para pemuda dalam perjalanan Bangsa
Indonesia. Melalui kata-kata itu para senior kita berharap banyak bahwa masa
depan bangsa ini tergantung pada kualitas para pemudanya yang mengabdikan diri
pada berbagai sektor kehidupan.
Ibarat orang memasak,
pemuda adalah bahan utama yang akan disajikan dalam sebuah jamuan makan. Enak
tidaknya rasa sajian utama tersebut sangatlah tergantung dari bumbu-bumbu yang
diracik dan dimasukkan ke dalam bahan utama masakan tersebut. Begitu juga
dengan para pemuda, ketika memasuki dunia kerja biasanya para pemuda tersebut
masih membawa semangat perubahan dan pembaruan yang menjadi idealisme mereka
ketika masih menjadi mahasiswa. Jarang sekali seorang mahasiswa tidak memiliki
semangat tersebut. Semangat perubahan dan pembaruan dalam diri para mahasiswa
tersebut biasanya diciptakan melalui kegiatan-kegiatan ekstra kampus yang
bertujuan untuk membentuk karakter dan idealisme diri para mahasiswa sebagai
agen perubahan
Para pemuda yang baru
saja memasuki dunia kerja bukanlah para pemuda yang tanpa sikap dan tanpa
idealisme. Mereka adalah orang-orang yang memiliki sikap dan idealisme, tetapi
dunia kerja adalah dunia baru bagi mereka. Ketika seseorang memasuki dunia yang
baru, hanya ada dua sikap yang akan terjadi, yaitu mewarnai atau diwarnai.
Semua itu tergantung kepada sikap diri para pemuda tersebut serta kondisi
lingkungan dunia kerja dimana setiap hari ia banyak menghabiskan waktu. Bahan
utama yang berupa semangat idealisme perubahan dan pembaruan itu harus tetap
dijaga dengan diberikan bumbu-bumbu berupa keteladanan sikap satunya kata dan
perbuatan dari para pemimpin dalam lingkungan kerja tempat mereka berada.
Sehingga keberadaan pemuda dalam suatu organisasi ataupun lingkungan kerja
mampu memberikan warna yang positif dan pembaruan yang bersifat transformatif,
bukan malah diwarnai oleh lingkungan kerja yang telah tumbuh dan berkembang
selama bertahun-tahun serta belum tentu bersifat positif dan membangun.
Dunia kerja adalah
suatu lokus yang berbeda dengan dengan dunia kampus. Walaupun kedua lokus
tersebut dibangun melalui suatu sistem birokrasi tetapi suasana kebatinan yang
dibangun pada kedua lokus tersebut sungguh jauh berbeda. Dunia kampus adalah
dunia mimbar kebebasan, di mana seorang mahasiswa diberikan kebebasan untuk
mengaktualisasikan segala keinginannya sesuai dengan kaidah ilmiah yang ada dan
berlaku dalam kampus tersebut. Sedangkan dunia kerja menuntut para ex-mahasiswa
tersebut berperilaku dan mengaktualisasikan diri sesuai dengan visi dan misi
keberadaan organisasi tersebut. Dalam dunia kampus, mayoritas penilaian
berkutat pada bagaimana membangun hard skill seorang mahasiswa untuk
dapat bersaing dalam dunia kerja, tetapi ketika memasuki dunia kerja seorang
ex-mahasiswa tersebut dituntut untuk dapat memadukan hard skill yang
dimiliki dengan soft skill yang harus dia miliki yang biasanya lebih
menentukan dalam karirnya.
Dalam dunia kerja
bahkan berlaku prinsip kesuksesan ditentukan oleh 80% attitude atau soft
skill. Namun pada zaman dahulu, attitude ini diartikan sebagai sikap
ataupun keahlian untuk selalu memberikan yang “terbaik” pada atasan
karena dianggapnya atasan adalah penentu kelancaran karir. Sikap seperti inilah
yang kemudian melahirkan perilaku suka menjilat atasan dan berkembang menjadi
budaya paternalisme asal bapak senang (ABS). Padahal salah satu soft
skill yang sangat diperlukan dalam dunia kerja bukanlah memberikan yang
terbaik pada atasan tanpa memiliki landasan keilmuan dan moral etika, tetapi
pemberian terbaik kita harus didasarkan pada perilaku yang memiliki landasan
moral dan etika serta dasar ilmiah keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sikap inilah yang kemudian menjadi dasar kita dalam berperilaku dalam dunia
kerja, yaitu sikap satunya pikiran, kata, dan perbuatan, yaitu sikap yang biasa
dikenal dengan sebutan integritas. Perilaku yang selalu dilandasi oleh kekuatan
moral yang membimbingnya dalam mengaktualisasikan kekuatan berpikir dan
kebiasaan bertindak merupakan inti dari integritas.
Dalam dunia kerja,
integritas juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Suatu lingkungan
kerja yang memiliki budaya kerja menjunjung tinggi integritas biasanya akan
memiliki para pegawai yang memiliki tingkat integritas tinggi pula, begitu pula
sebaliknya, bagi lingkungan kerja yang mengabaikan nilai-nilai integritas
biasanya akan memiliki pola kerja dan lingkungan kerja yang tidak sehat.
Pembangunan budaya kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai integritas tidak
dapat dibangun sekejap saja, tetapi melalui suatu proses yang teramat panjang
dan bermuara pada satu aspek, yaitu keteladanan pemimpin.
Dalam proses
pengembangan organisasi, faktor kepemimpinan memiliki peran signifikan dalam
membangun dan menginternalisasikan nilai-nilai integritas. Seorang pemimpin
yang mampu memahami arti dan makna dari integritas serta bersedia untuk
menerapkannya biasanya akan menjadi orang yang sukses dalam berorganisasi.
Kesuksesan tersebut berupa kesuksesan dalam karir, kesuksesan dalam pencapaian
tujuan organisasi, serta kesuksesan dalam mencetak generasi penerus organisasi
yang mumpuni dan berintegritas tinggi.
Integritas menjadi
kunci sukses kepemimpinan karena dengan adanya nilai-nilai integritas yang
diyakininya, seorang pemimpin akan mampu bersikap dan bertindak secara benar
pada saat yang tepat, karena dari situlah muara dari kepercayaan yang dia
bangun dalam hubungan kerja maupun hubungan antar individu dalam keseharian.
Nilai integritas juga akan menjadi penuntun para pemimpin untuk tidak mudah
dikacaukan oleh hal-hal yang bersifat formal tetapi pada dasarnya menyesatkan
karena tidak sesuai dengan kaidah legalitas maupun kaidah ilmiah yang berlaku.
Melalui nilai integritas seorang pemimpin akan mampu membuat suatu keputusan
yang objektif dan mampu melepaskan diri dari benturan kepentingan yang mungkin
terjadi dan akan mempengaruhi kualitas keputusan yang dibuatnya.
Ketika seorang
pemimpin mampu menerapkan kepemimpinan berbasis nilai-nilai integritas secara
konsisten, maka hal itu menunjukkan keteladanan seorang pemimpin dalam
membangun keyakinan dirinya dan diharapkan mampu mempengaruhi orang lain serta
mampu menjadi daya dorong dan daya tarik bagi orang lain untuk lebih memahami
makna dari integritas. Integritas bukanlah suatu kejujuran semata, tetapi
kejujuran hanyalah salah satu bagian dari integritas. Seorang yang jujur bisa
saja mengalami kesulitan ketika harus mengambil kebijakan yang dapat
menyulitkan kepentingannya sehingga kebijakan yang dibuatpun akhirnya
kualitasnya berkurang karena terpengaruh oleh kepentingan pribadi. Sedangkan
orang yang berintegritas adalah orang yang mampu mengambil kebijakan secara
adil dan objektif tanpa terpengaruh oleh konfilk kepentingan yang muncul dalam
proses pengambilan keputusan tersebut. Bahkan pemimpin yang berintegritas dapat
dengan rela mundur dari proses pengambilan kebijakan ketika dalam proses
pengambilan kebijakan tersebut terdapat kemungkinan terjadinya benturan
kepentingan.
Menumbuhkembangkan
keteladanan pemimpin dalam membangun integritas pada suatu lingkungan kerja
sangatlah penting karena nilai integritas dapat menjadi pedoman dan penuntun
dalam upaya membina kepercayaan dan keyakinan, meluruskan arti
penting dalam merumuskan standar yang tinggi, landasan nilai yang sangat
mempengaruhi kinerja, mendorong terbentuknya reputasi dan citra organisasi,
mendorong orang untuk menghayati diri sendiri sebelum mendorong orang lain
dalam bersikap dan bertingkah laku, serta mendorong orang untuk mencapai suatu
prestasi.
Tanpa adanya
keteladanan, nilai-nilai integritas tidak akan mudah terinternalisasikan dalam
keseharian perilaku para anggota organisasi serta akan sulit mengharapkannya
menjadi suatu budaya organisasi. Keteladanan menjadi inti dari internalisasi
nilai integritas karena keteladanan adalah kesatuan pikiran, perkataan, dan
perbuatan yang muncul dari dalam diri seseorang. Sikap keteladanan ini kemudian
akan memunculkan sikap kepemimpinan yang efektif. Sikap kepemimpinan efektif
tersebut dapat lahir dari pemimpin formal organisasi ataupun pemimpin informal
dalam suatu organisasi. Namun, keteladanan sepertinya akan lebih memiliki daya
dorong dan daya tarik yang lebih kuat ketika muncul dan ada dalam diri pemimpin
formal suatu organisasi. Hal ini disebabkan karena posisi si pemberi
keteladanan adalah posisi yang strategis dalam menentukan arah kebijakan
organisasi serta menguasai sumber daya organisasi yang dapat dimaksimalkan
dalam upaya menginternalisasikan nilai-nilai integritas.
Apabila para pemimpin
formal dalam organisasi mampu memberikan kepemimpinan berbasis keteladanan,
maka para anggota organisasi tersebut akan terwarnai dengan keteladanan yang
diberikan oleh para pimpinan organisasi. Apabila para anggota organisasi telah
memiliki nilai-nilai integritas dan menerapkannya dalam keseharian, maka ketika
ada pemuda-pemuda yang baru saja memasuki dunia kerja mereka akan mendapatkan
contoh yang baik dari lingkungan kerja yang telah terwarnai oleh budaya kerja
berbasiskan nilai-nilai integritas tentang bagaimana mengaktualisasikan
kemampuan diri mereka serta cara untuk meraih kesuksesan pribadi dan organisasi
melalui cara-cara yang bermoral dan beretika. Para pemuda seperti itulah yang
nantinya akan mampu memberikan kontribusi yang luar biasa positif bagi kemajuan
organisasi dan kemajuan Bangsa Indonesia di hari esok.
Pemuda merupakan
makhluk sosial yang sangat penting dalam kehidupan bangsa. Pemuda Indonesia
harus menjadi komunitas pembelajar sehingga kelak bisa menjadi calon pemimpin
masyarakat atau bangsa yang berbasis pada kekuatan ilmu dan
intelektualitas. Kalau itu bisa terwujud, kelak akan lahir para pemimpin yang
cerdas secara intelektual, spiritual, emosional, dan sosial. Pemuda Indonesia
dituntut berpikir cerdas dalam makna luas yaitu memiliki kemampuan ilmu,
penguasaan teknologi, daya analitik, kreatif, inovatif, profesional, dan
berwawasan luas sehingga menjadi sosok intelektual yang lengkap atau mumpuni.
Namun harus ditegaskan bahwa kualitas intelektual yang multi aspek tersebut
harus disertai dengan kualitas keimanan dan ketakwaan yang tinggi sehingga
mampu melahirkan sikap integritas dalam kehidupan sehari-hari.
Bangsa Indonesia yang
masih dililit banyak masalah sungguh memerlukan potensi para pemuda yang cerdas
dan berintegritas. Apabila pemuda sebagai elemen bangsa telah memiliki karakter
tersebut, maka setelah menjadi pejabat atau pemimpin tentu tidak akan menjadi
koruptor. Namun sebaliknya, kalau pemudanya saja sekarang doyan tawuran,
menyontek, dan menyimpang dari norma serta nilai agama maka di kemudian hari
akan menjadi elit dan pemimpin korup. Para Pemuda diharapkan dapat menerapkan
segala ilmu yang telah dimiliki penuh dengan integritas dalam setiap peran yang
mereka lakoni. Manfaatkan masa muda kita, masa sekolah/kuliah kita seoptimal
mungkin, karena masa-masa itu tidak akan pernah kembali.