Pendahuluan
Adalah fakta yang harus diakui bahwa
sejak masyarakat Indonesia menikmati kebebasan berdemokrasi pasca tumbangnya
rezim Orde Baru 1998, nyaris tidak ada diskusi—apalagi sosialisasi
intensif—mengenai empat pilar kebangsaan. Kalau pun ada, sifatnya sangat
insidentil dan lebih menonjolkan salah satu dari keempatnya saja. Akibatnya,
pemahaman yang dihasilkan pun cenderuing parsial dan partikularistik. Tidak
utuh dan menyeluruh. Padahal idealnya keempat pilar tersebut dipahami secara
komprehensip, supaya segenap penduduk Indonesia bisa menerapkannya secara
elegan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesadaran akan posisi strategis
keempat pilar tersebut baru mengkristal sekitar dua tahun terakhir di kalangan
elit politik dan kaum cerdik cendikia. Tepatnya ketika mereka mendapati
realitas masyaralat Indonesia yang tak kunjung beranjak dari kubangan dilema.
Beragam persoalan di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya seolah
tidak pernah bosan menghantam dan mengikis persatuan nasional. Yang lebih
memprihatinkan lagi, konflik horizontal dan vertikal masih saja meletup dan
menghadirkan awan hitam bagi kemanusiaan. SARA dan perebutan kepentingan selalu
dijadikan sebagai kambing hitam. Padahal jauh sebelum Indonesia merdeka,
tepatnya pada 28 Oktober 1928, delegasi pemuda dari beragam suku sudah berhasil
meredam egoisme primordial mereka, untuk kemudian mengusung semangat kebangsaan
yang lebih tinggi.
Kenyataan ini mungkin cukup untuk
dijadikan pijakan guna merefleksikan urgensi empat pilar kebangsaan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila, UUD 1945, NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia), serta Bhineka Tunggal Ika adalah khazanah tak ternilai
warisan para pendiri bangsa. Sebuah formula yang sudah teruji dan terbukti
ampuh mewadahi segenap kepentingan, visi, misi, serta cita-cita luhur di balik
proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Sejak disepakati sebagai dasar
negara sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945, semua komponen bangsa harus
menginsyafi bahwa Pancasila merupakan ideologi bangsa. Pancasila merupakan
konsep yang mengandung gagasan, cita-cita, nilai dasar yang bulat, utuh, dan
mendasar mengenai eksistensi dan hubungan manusia dengan lingkungannya,
sehingga dapat dipergunakan sebagai landasan dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
perjalanan pancasila sempat mengalami pasang surut dalam sejarah perpolitikan
bangsa. Sejak dirumuskan pada tahun 1945 sampai saat ini pun, resistensi
terhadap pancasila menjadi fenomena yang tidak sulit untuk ditemui. Namun dalam
konteks kekinian, memperdebatkan status pancasila sama saja dengan
membuang-buang energi untuk sesuatu yang tidak berguna. Karena selain sudah
disepakati secara aklamatif oleh para pendiri bangsa, proses kelahiran
pancasila juga melalui proses perenungan yang panjang. Digali dari nilai,
norma, serta realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Oleh
sebab itu, wajar jika pancasila memiliki kekuatan untuk mengakomodir semua cita
dan impian masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang unggul.
Dengan kedudukan dan kekuatan yang
dimiliki, adalah sebuah keharusan bagi segenap masyarakat untuk menjadikan
pancasila sebagai waf of life (cara hidup). Pancasila harus dijadikan sebagai
pedoman sekaligus dasar dari setiap aktivitas keseharian. Sehingga, semua
tingkah laku, sikap, dan perbuatan manusia Indonesia berada di bawah kerangka,
selaras dengan semangat, sekaligus merupakan cerminan dari pancasila.
Semangat yang terdapat dalam
pancasila secara sederhana bisa dipetakan sebagai berikut:
1. Ketuhanan yang Mahaesa : Religiusitas
Suatu landasan yang memberikan pedoman mengenai cara membangun realsi vertikal yang harmonis dengan Tuhan sebagai realitas absolut.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
: Humanitas
Suatu landasan yang membingkai cara menjalin relasi horizontal yang indah antara sesama manusia, di mana setiap insan diposisikan setara sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Suatu landasan yang membingkai cara menjalin relasi horizontal yang indah antara sesama manusia, di mana setiap insan diposisikan setara sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
3. Persatuan Indonesia :
Nasionalisme
Suatu landasan yang mengukuhkan keberadaan setiap insan di bumi persada sebagai suatu komunitas yang disebut bangsa. Landasan inilah yang berfungsi sebagai pijakan untuk meneguhkan loyalitas masyarakat terhadap bangsanya.
Suatu landasan yang mengukuhkan keberadaan setiap insan di bumi persada sebagai suatu komunitas yang disebut bangsa. Landasan inilah yang berfungsi sebagai pijakan untuk meneguhkan loyalitas masyarakat terhadap bangsanya.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan : Soverenitas
Suatu landasan untuk membangun sistem demokrasi, di mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.
Suatu landasan untuk membangun sistem demokrasi, di mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.
5. Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia : Sosialisme
Suatu tujuan ideal nan luhur yang ingin dicapai di balik pendirian NKRI
Suatu tujuan ideal nan luhur yang ingin dicapai di balik pendirian NKRI
UUD 1945 Sebagai Kontrak Hukum
Tertinggi
Berbeda dengan pancasila yang tak
mengalami perubahan sama sekali sejak dikukuhkan sebagai ideologi negara, UUD
1945 dinamis. Terhitung sejak 1945, bangsa Indonesia sudah 8 jali melakukan
perubahan terhadap undang-undang. [1] UUD 1945. [2] Konstitusi RIS 1949. [3]
UUDS 1950. [4] UUD 1945 versi Dekrit 5 Juli 1959. [5] Amandemen pertama UUD
1945 tahun 1999. [6] Amandemen kedua tahun 2000 [7] Amandemen ketiga tahun 2001
[8] Amandemen keempat pada tahun 2002. Saat ini sedang menguat dan mencuat
amandemen kelima yang bertujuan mengefektifkan sistem parlemen dua kamar
(bicameral parliament).
Terlepas dari dinamika yang mewarnai
perjalanan UUD 1945, hal penting yang harus disadari adalah kedudukannya
sebagai traktat hukum tertinggi dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Ia
merupakan sumber hukum yang harus dijadikan sebagai referensi utama dalam
setiap kerangka hukum. Baik di bidang politik, ekonomi dan sosial.
Dengan kedudukan ini, UUD 1945 harus
menjadi acuan primer dalam hukum yang mengatur tentang dinamikan kekuasaan,
hubungan antara cabang-cabang kekuasaan, hubungan antara negara dengan
masyarakat, serta hubungan antara sesama masyarakat. Singkatnya, UUD 1945 harus
menjadi landasan utama dalam merumuskan setiap kebijakan formal di segala
bidang.
Di samping itu, UUD 45 juga harus
dijadikan sebagai tolok ukur primer dalam menilai konstitusionalitas semua
fenomena serta produk hukum di Indonesia. Posisi ini memang mengesankan UUD 45
menempati posisi yang lebih sakral dibanding hukum-hukum primordial yang dianut
masyarakat. Baik itu hukum agama maupun hukum adat. Namun sebagai kontrak
sosial yang berfungsi mempersatukan semua komponen bangsa yang beragam, kesan
tersebut harus dipandang positif serta diajadikan sebagai pemicu untuk merajut
kebersamaan dalam kesetaraan.
NKRI Sebagai Negara Nation State
NKRI Sebagai Negara Nation State
Dalam konteks masyarakat Indonesia
yang sangat heterogen, NKRI sebagai nastion state (negara kebangsaan) harus
diyakini sebagai sistem terbaik. Dalam sistem negara kesatuan, wewenang legislatif
tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan
terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Dengan
demikian, kedaulatan negara bersifat tunggal dan tidak terbagi.
Bentuk negara kesatuan ini sejatinya
memiliki nasib yang sama dengan kedua pilar kebangsaan yang sudah diuraikan
sebelumnya. Sempat mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah. Setelah
ditetapkan oleh para pendiri bangsa pada tahun 1945, Indonesia sempat beralih
menganut sistem negara federal pasca Konferensi Meja Bundar di Belanda pada
tahun 1949. Syukurlah, penerapan sistem tersebut hanya berjalan singkat,
sekitar tujuh bulan. Setelah itu, Indonesia kembali menganut sistem negara
kesatuan.
Selain berfungsi sebagai benteng
kokoh yang melindungi negara dari ancaman disintegrasi, sistem negara kesatuan
juga efektif meredam godaan yang potensial menjangkiti elit-elit masyarakat
daerah untuk memisahkan diri dari Indonesia. Oleh sebab itu, adalah sebuah
ironi ketika pada masa-masa awal reformasi, ada sejumlah kalangan yang
menggulirkan gagasan supaya Indonesia menganut sistem federasi. Alasan mereka
adalah, supaya setiap daerah memiliki kebebasan yang lebih luas dalam mengelola
sumber daya yang dimilikinya. Mereka seolah lupa bahwa sistem federasi hampir
saja membuat negara ini pecah berkeping-keping di awal kemerdekaannya.
Bhineka Tunggal Ika Sebagai Jati Diri
Pilar kebangsaan keempat yang
tertuang dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika sejatinya merupakan kutipan dari
Kakawin Sutasoma karangan Empu Tantular. Semboyan tersebut menjadi populer
setelah menjadi bagian dari sumpah Palapa yang diikrarkan Mahapatih kejaraan
Majapahit, Gajah Mada.
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa
Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda.
Mereka memang berbeda, tapi bagaimana kita mengenali perbedaannya dalam selintas pandang?
Kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua.
Mereka memang berbeda, namun hakikatnya sama. Tidak ada kebenaran yang mendua.
bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa
Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda.
Mereka memang berbeda, tapi bagaimana kita mengenali perbedaannya dalam selintas pandang?
Kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua.
Mereka memang berbeda, namun hakikatnya sama. Tidak ada kebenaran yang mendua.
Terlepas dari keberhasilan Gajah
Mada mewujudkan sumpah palapanya tersebut, makna penting yang harus diresapi
adalah, jauh sebelum Indonesia menjadi negara bangsa yang besar seperti saat
ini, keragaman suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) sudah ada sejak zaman
dahulu. Ini merupakan anugerah luar biasa dari Tuhan Yang Mahakuasa yang harus
disyukuri, bukan musibah yang harus disesali. Perbedaan tersebut harus dikelola
dengan baik dan dicarikan titik temunya.
Tingginya pruralitas masyarakat
Indonesia yang tersebar di atas ribuan pulau adalah kekayaan yang tak ternilai.
Ibarat motif indah penghias hamparan permadani nusantara yang terbentang dari
Sabang sampai Merauke. Di atasnya tersimpan sejuta potensi yang menanti untuk
dieksploitasi. Oleh sebab itu, segenap masyarakat Indonesia harus menyadari
makna luhur yang tersimpan di balik semboyan Bhineka Tunggal Ika: antara lain:
a. Inklusif dalam kesetaraan
Seluruh penduduk Indonesia harus menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari mayarakat yang lebih luas. Oleh sebab itu, setiap insan harus melihat dirinya—baik sebagai pribadi, anggota etnis tertentu, ataupun penganut agama tertentu—setara dengan orang lain. Sehingga, ia tidak memiliki alasan untuk bersikap egois dengan menganggap diri, etnis, atau agamanya lebih baik dari etnis dan agama orang lain. Pandangan ini akan melahirkan kesadaran primordial bahwa setiap anak bangsa—apa pun suku dan agamanya—memiliki peran mereka yang masing-masing yang tidak bisa diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
Seluruh penduduk Indonesia harus menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari mayarakat yang lebih luas. Oleh sebab itu, setiap insan harus melihat dirinya—baik sebagai pribadi, anggota etnis tertentu, ataupun penganut agama tertentu—setara dengan orang lain. Sehingga, ia tidak memiliki alasan untuk bersikap egois dengan menganggap diri, etnis, atau agamanya lebih baik dari etnis dan agama orang lain. Pandangan ini akan melahirkan kesadaran primordial bahwa setiap anak bangsa—apa pun suku dan agamanya—memiliki peran mereka yang masing-masing yang tidak bisa diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
b. Toleran dalam perbedaan
Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa, dan adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama dengan agama lain, sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan. Pandangan semacam ini akan menumbuhkan rasa saling menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.
Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa, dan adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama dengan agama lain, sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan. Pandangan semacam ini akan menumbuhkan rasa saling menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.
c. Pruralistik dalam kebersamaan
Semua masyarakat Indonesia harus menginsyafi bahwa perbedaan yang ada di antara mereka sudah lebur dalam semangat kebangsaan, sehingga tidak lagi menjadi halangan untuk menjalin kebersamaan demi meraih cita-cita bersama. Semangat ini akan mengantarkan penduduk Indonesia pada kesadaran untuk menggunakan musyawarah sebagai mekanisme untuk mencapai kemufakatan dalam menentukan masa depan. Mengikis terminologi minoritas-mayoritas, untuk selanjutnya berjalan beriringan dan bergandeng tangan untuk mewujudkan bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera.
Semua masyarakat Indonesia harus menginsyafi bahwa perbedaan yang ada di antara mereka sudah lebur dalam semangat kebangsaan, sehingga tidak lagi menjadi halangan untuk menjalin kebersamaan demi meraih cita-cita bersama. Semangat ini akan mengantarkan penduduk Indonesia pada kesadaran untuk menggunakan musyawarah sebagai mekanisme untuk mencapai kemufakatan dalam menentukan masa depan. Mengikis terminologi minoritas-mayoritas, untuk selanjutnya berjalan beriringan dan bergandeng tangan untuk mewujudkan bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera.
Kesimpulan
Sungguh sebuah ironi yang memilukan
sekaligus memalukan ketika melihat kondisi mutakhir Indonesia. Menjadi negara
pertama di Asia Tenggara yang menikmati lezatnya kue kemerdekaan, mendapatkan
kesempatan terdepan untuk mewujdukan mimpi menjadi bangsa yang maju, serta
memiliki potensi yang paling melimpah, ternyata jauh panggang dari api. Saat
ini, Indonesia menjadi negeri yang paling babak belum di antara tetangganya
sesama negara ASEAN. Yang lebih mengejutkan, hasil survei Fund For Peace (FFP)
yang dirilis di Washington DC pada 16 Juni 2012, Indonesia menduduki peringkat
ke-63 dari 178 negara, lebih buruk satu peringkat dari tahun sebelumnya di
posisi 64.
Kondisi ini tidak terjadi begitu
saja tanpa penyebab yang bersifat radikal dan fundamental. Agar kondisi ini
tidak semakin parah, maka tidak ada jalan lagi bagi masyarakat Indonesia,
kecuali menggali, merefleksikan, serta mengaplikasikan dengan serius
nilai-nilai luhur yang tercermin dari empat pilar kebangsaan. Jika semua muatan
positif dalam keempat pilar tersebut berhasil dijiwai dan diejawantahkan,
berarti Indonesia sudah berada di jalan yang tepat untuk mengembalikan kejayaan
masa lalunya.[]
* Disampaikan pada Pelatihan Kebangsaan yang diselenggarakan oleh DPP GMPTQN dan Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri RI, Hotel Permata Indah, 10 Juli 2012 di Jakarta.