Di bawah ini merupakan contoh makalah yang bertemakan "EKONOMI KERAKYATAN VERSUS EKONOMI LIBERALISME SEBAGAI SISTEM PEREKONOMIAN DI INDONESIA"
Kalau mau download yang asli, sabar yaaa, mediafire lagi trouble nih :D
====================================================================
EKONOMI KERAKYATAN VERSUS EKONOMI
LIBERALISME SEBAGAI SISTEM PEREKONOMIAN
DI INDONESIA
MAKALAH
Tujuan
Ditulis
untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Matakuliah Bahasa Indonesia
oleh
Sukur
Riswanto 125020200111117
Jurusan
Manajemen
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
Universitas
Brawijaya
Malang
2013
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Semangat,
senyum, syukur”
“Pendidikan
merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua”
“Jadikanlah
ilmu berguna bagi diri sendiri dan orang lain”
Makalah
ini penulis persembahkan kepada:
1.
Allah
SWT yang telah memberikan kita nikmat, taufik, dan hidayah-NYA
2.
Kedua
orang tua penulis yang selalu mendukung dan mendoakan
3.
Ibu
Wahyu Winiarsih selaku dosen matakuliah Bahasa Indonesia
4.
Teman-teman
yang mendukung penulis
5.
Dan
pembaca yang memberikan saran dan kritik yang membangun
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-NYA kepada kita semua sehingga penulis bisa menyelesaikan
makalah ini dengan lancar. Tujuan penulis menyusun makalah ini adalah sebagai
tugas terstruktur matakuliah Bahasa Indonesia yang diberikan oleh dosen
matakuliah. Penulis mengambil judul makalah “Sistem Ekonomi Kerakyatan Versus
Sistem Ekonomi Liberal di Indonesia” karena saat ini banyak terjadi perdebatan
mengenai sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia antara sistem ekonomi
kerakyatan atau sistem ekonomi liberal. Selanjutnya, hal itu memunculkan banyak
pendapat yang pro dan kontra mengenai sitem ekonomi yang diterapkan di Indonesia.
Dalam
makalah ini dijelaskan mengenai pengertian dari kedua sistem ekonomi tersebut
secara detail dari ciri-ciri dan perkembangannya, serta kelemahan dan
kelebihan, perkembangan perekonomian di Indonesia, dan pada akhirnya mengarah
kepada sistem ekonomi mana yang cocok diterapkan di Indonesia. Penulis menyusun
makalah ini dari berbagai pustaka berupa buku dan infromasi dari internet.
Teknik analisisnya menggunakan metode kualitatif yang berupa kalimat deskriptif
dalam menjelaskan makalah mengenai topik yang penulis angkat.
Dalam
pembuatan suatu karya pasti banyak terjadi hambatan. Dalam hambatan ini harus
dihadapi oleh orang yang bersangkutan. Seperti penulis yang kesulitan
menentukan poin-poin mana saja yang akan dijelaskan dalam makalah ini. Namun, penulis
dapat menghadapinya dengan membaca rujukan berupa buku dan internet.
Selanjutnya, penulis juga masih menunda-nunda dalam mengerjakan makalah ini
yang membuat tugas kuliah semakin menumpuk. Akibatnya, penyusunan makalah ini
tidak segera diselesaikan. Tetapi, penulis sadar bahwa tugas yang ada harus
diselesaikan segera agar tidak menumpuk sehingga nantinya beban semakin
berkurang. Penulis juga masih kesulitan dalam membagi waktu antara kuliah,
kegiatan, belajar, dan mengerjakan tugas. Syukur alhamdulillah penulis bisa
mengendalikannya dengan membuat jadwal harian yang terstruktur.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah turut serta membantu penyelesaian
makalah ini yang berupa materi maupun nonmateri. Adapun pihak-pihak tersebut
adalah
1.
Allah
SWT sebagai sumber kekuatan dan inspirasi penulis
2.
kedua
orang tua penulis yang selalu mendoakan dan mendorong untuk terus belajar
3.
Ibu
Wahyu Winiarsih selaku dosen matakuliah Bahasa Indonesia yang sudah memberikan
banyak ilmu kepada penulis
4.
teman-teman
yang sudah mendukung penulis
5.
serta
pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan semua.
Namun, penulis sebagai manusia biasa
yang tidak pernah luput dari kesalahan. Penulis sudah melakukan yang terbaik.
Demikian juga terhadap makalah ini yang masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan
makalah ini untuk menjadi yang lebih baik ke depannya.
Malang, 17 April 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
Hlm.
Halaman
Judul ........................................................................................................ i
Motto dan Persembahan
......................................................................................... ii
Kata Pengantar
....................................................................................................... iii
Daftar Isi
................................................................................................................ v
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang ................................................................................................. 1
1.2
Rumusan
Masalah ............................................................................................ 2
1.3
Tujua
Pembahasan ........................................................................................... 2
1.4 Manfaat Pembahasan ....................................................................................... 2
BAB
II LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Ekonomi Kerakyatan .......................................................................... 3
2.1.1
Pengertian dan Konsep Ekonomi Kerakyatan ........................................ 3
2.1.2
Tujuan Ekonomi Kerakyatan .................................................................. 5
2.2 Konsep Ekonomi Liberalisme ......................................................................... 6
2.2.1
Pengertian dan Konsep Ekonomi Liberal ............................................... 6
2.2.2
Ciri-ciri Ekonomi Liberal ....................................................................... 7
2.2.3
Kebaikan Ekonomi Liberal .................................................................... 8
2.2.4 Kelamahan Ekonomi Liberal ................................................................. 8
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Perkembangan
Perekonomian Indonesia ............................................ 9
3.1.1
Orde Lama .............................................................................................. 9
3.1.2
Orde Baru ............................................................................................... 11
3.1.3
Orde Reformasi ...................................................................................... 12
3.2 Ekonomi Kerakyatan Versus
Ekonomi Liberal .............................................. 13
3.2.1
Ekonomi Kerakyatan ............................................................................. 13
3.2.2
Ekonomi Liberal .................................................................................... 18
3.2.3
Subversi Neokolonialisme ..................................................................... 20
3.2.4
Perbandingan Ekonomi Kerakyatan dengan Ekonomi Liberal ............. 22
3.3 Peran Negara dalam Ekonomi ........................................................................ 23
3.4 Perlunya Ekonomi Kerakyatan
Dijadikan sebagai Strategi Pembangunan Ekonomi Indonesia .............................................................................................................. 26
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 29
4.2 Saran ............................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 31
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dewasa
ini, banyak sekali terjadi perdebatan mengenai konsep sistem ekonomi yang
diterapkan di Indonesia. Mereka memperdebatkan antara sistem ekonomi kerakyatan
dan sistem ekonomi liberal dengan argumen mereka masing-masing. Dari perdebatan
tersebut tentu memunculkan konflik-konflik yang pro dan kontra mengenai sistem
ekonomi yang cocok diterapkan di Indonesia. Yang pro terhadap sistem ekonomi
liberal menyatakan bahwa di Indonesia sangat terlihat jelas bahwa sistem
ekonomi liberal diterapkan di negara ini. Hal itu bisa dilihat dengan aktivitas
perekonomian dari banyak aspek. Misalnya, unit-unit faktor produksi boleh
dimilki secara pribadi terlalu berlebihan. Banyak perusahaan besar yang
dipegang pribadi dengan investasi bebas dari manapun. Kepemilikan perusahaan
tersebut hanya berorientasi profit yang hanya bisa dinikmati oleh pemegang dan
anggotanya. Sistem ekonomi ini memilki persaingan yang sangat ketat untuk
menjadi perusahaan yang lebih maju dari yang lainnya.
Sementara
yang kontra terhadap sistem ekonomi liberal menyatakan bahwa sistem ini membawa
kerugian bagi rakyat. Hal itu bisa dilihat dari keterbatasan rakyat dalam
memilki faktor-faktor produksi untuk membangun usaha. Dengan keadaan seperti
ini, rakyat akan semakin miskin saja sementara yang kaya semakin kaya. Selain
itu, sistem ini tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945. Sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia adalah
sistem ekonomi yang berasaskan Pancasila berorientasi rakyat. Namun, bagaimana
fakta perekonomian di Indonesia? Sudah sesuaikah dengan sistem ekonomi
kerakyatan?
Sistem
ekonomi yang diterapkan di Indonesia mengalamai keambiguan. Prinsipnya adalah
sistem ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Pncasila. Akan tetapi, pada
pelaksanaannya nol. Justru liberalis-kapitalislah yang lebih dominan terlihat
di Indonesia. Rakyat yang menjadi ikon demokrasi di Indonesia juga hanya
sebatas formalitas saja. Setelah itu, perhatian terhadap rakyat tidak ada
implementasinya.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini
yaitu
1.
Bagaimana
sejarah perkembangan perekonomian Indonesia?
2.
Bagaimana
peran sistem ekonomi kerakyatan versus sistem ekonomi liberal dalam mendukung
perekonomian Indonesia?
3.
Bagaimana
peran negara dalam ekonomi?
4.
Perlukah
ekonomi kerakyatan dijadikan sebagai strategi pembangunan ekonomi Indonesia?
1.3
Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan makalah
ini adalah
1.
Menjelaskan
konsep yang jelas mengenai ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal
2.
Menjelaskan
bagaimana sejarah perekonomian di Indonesia
3.
Menjelaskan
sistem ekonomi manakah yang cocok diterapkan di Indonesia
1.4
Manfaat Pembahasan
Manfaat dari pembahasan makalah
ini adalah
1.
Mengetahui
konsep ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal
2.
Mengetahui
bagaimana rentetan sejarah perekonomian di Indonesia
3.
Mengetahui
sistem ekonomi apa yang cocok diterapkan di Indonesia
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Konsep
Ekonomi Kerakyatan
2.1.1
Pengertian Konsep
Ekonomim Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33
UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan
adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi,
air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa
sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana
dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem
ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1)
mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi,
air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak
terlantar.
Berikut
pengertian konsep dari ekonomi kerakyatan dari menurut para ahli sebagai
berikut
1.
Menurut Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM
Sistem
ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan,
berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Dalam
praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring (network)
yang menghubungkan sentra-sentra inovasi, produksi, dan kemandirian usaha masyarakat ke
dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring
pasar domestik di antara sentra dan pelaku usaha masyarakat.
Ekonomi
rakyat adalah kegiatan atau mereka yang berkecimpung dalam kegiatan produksi
untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupan
mereka. Mereka itu
adalah petani kecil, nelayan, peternak, pekebun, pengrajin, pedagang kecil, dan
lain-lain, yang modal usahanya merupakan modal keluarga yang kecil dan pada
umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Tekanan dalam hal
ini adalah pada kegiatan produksi, bukan konsumsi, sehingga buruh pabrik tidak
masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian
dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan.
Meskipun sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha Kecil
Menengah) dapat dimasukkan ekonomi
rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut
sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firma) seperti yang dikenal dalam ilmu
ekonomi perusahaan.
2.
Menurut Bung Hatta
Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel
berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya,
sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di
Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:
“Ekonomi Rakyat oleh sistem
monopoli disempitkan, sama sekali idesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31).”
3.
Menurut Alfred Masrshall
Ekonomi
Rakyat adalah
kancah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan
kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara
resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian
nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ekonomi kerakyatan disebut sektor
informal, “underground economy”, atau “ekstralegal sector”.
Alfred Marshall bapak ilmu ekonomi Neoklasik (1890) memberikan definisi ilmu
ekonomi sebagai berikut :
Economics is a study of men as they live and move and
think in the ordinary business of life. But it concerns itselft chiefly with
those motives which affect, most powerfully and most steadily, man’s conduct in
the business part of his life.[1]
4.
Menurut Konvensi ILO169
tahun 1989
Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi
definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis
kehidupan masyarakat lokal dalam mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan
ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal
dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun.
Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi subsistem, antara lain
pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan
kerajinan tangan serta industri rumahan.
Semua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar
tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan
untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi
sumber daya alam yang ada.
2.1.2
Tujuan Ekonomi Kerakyatan
Tujuan yang akan dicapai dari
penguatan ekonomi kerakyatan adalah untuk melaksanakan amanat konstitusi,
khususnya mengenai:
1.
Perwujudan
tata ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan
yang menjamin keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal 33
ayat 1).
2.
Perwujudan konsep Trisakti “Berdikari di bidang ekonomi,
berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian dibidang kebudayaan.”
3.
Perwujudan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
rakyat banyak dikuasai negara (pasal 33 ayat 2).
4.
Perwujudan amanat bahwa tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2).
Adapun tujuan khusus yang akan dicapai adalah untuk:
1.
Membangun
Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan
berkepribadian yang berkebudayaan.
2.
Mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
3.
Mendorong
pemerataan pendapatan rakyat.
4.
Meningkatkan
efisiensi perekonomian secara nasional.
2.2
Konsep Ekonomi Liberal
2.2.1
Pengertian Konsep Ekonomi Liberal
Neoliberalisme, sebagaimana dikemas oleh ordoliberalisme,
adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga prinsip sebagai
berikut:
1)
Tujuan utama ekonomi neoliberal
adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di
pasar;
2)
Kepemilikan pribadi terhadap
faktor-faktor produksi diakui; dan
3)
Pembentukan harga pasar bukanlah
sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh
negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut
maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan
penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas
dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme
ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan
anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan;
(3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz,
2002).
Pengertian konsep ekonomi liberal menurut beberapa
ahli adalah sebagai berikut:
1.
Menurut Adam Smith
Salah satu tokoh penemu ekonomi klasik, ekonomi
liberal adalah suatu sistem ekonomi yang mempunyai kaitannya dengan
"kebebasan (proses) alami." Meskipun demikian, Smith tidak pernah
menggunakan penamaan paham tersebut. Sedangkan konsep kebijakan dari
ekonomi (globalisasi) liberal ialah sistem ekonomi bergerak ke arah menuju
pasar bebas dan sistem ekonomi berpaham perdagangan bebas dalam era globalisasi
yang bertujuan menghilangkan kebijakan ekonomi proteksionisme.
2.
Menurut Niccolo Machiavelli (Florence, 1469-1527)
Dia adalah seorang tokoh liberal terbaik yang dikenal dengan
pendapatnya, II Principe. Dia adalah pendiri realis filosofi politis yang
mendukung pemerintahan republik, angkatan perang negara, divisi kekuasaan,
perlindungan milik perorangan, dan pengekangan pembelanjaan pemerintah sebagai
kebebasan suatu republik.
Ia menulis secara ekstensif pada kebutuhan individu
sebagai suatu karakteristik yang penting sebagai kepemerintahan yang stabil. Ia
berargumentasi bahwa sebaik-baiknya kebebasan individu masih perlu dilindungi
oleh legitasi serta regulasi yang baik dari pemerintah. Dan bahwa orang-orang
yang bisa memimpin hukum dengan benar hanyalah orang-orang yang segala ambisi
dan keegoisannya bisa dihilangkan dalam memelihara kebebasannya tersendiri. Dia
berpendapat bahwa realisme adalah pusat gagasan dalam pelajaran politis dan
mengutamakan kebebasan republik (individu) dibawah prinsip.
3.
Menurut Desiderius (Belanda, 1944-1536)
Dia adalah seorang tokoh liberal yang dikenal sebagai
orang yang berperikemanusiaan. Dia berkata bahwa masyarakat Erasmusian
melintasi Eropa sampai pada taraf tertentu sebagai jawaban atas pergolakan
reformasinya. Ia berhadapan dengan kebebasan berkehendak. Dalam karyanya De
Libero Arbitrio Diatribe Sive Collatio (1524), ia meneliti dengan kepintaran
dan kejeniusannya untuk menghapus keterbatasan hidup sebagai pernyataan atas
kebebasan manusia.
2.2.2
Ciri-ciri Ekonomi Liberal
Ciri-ciri
dari ekonomi liberal adalah sebagai berikut:
1)
Setiap orang
bebas memiliki sumber-sumber produksi termasuk barang modal.
2)
Setiap orang
bebas menggunakan barang dan jasa yang dimilikinya.
3)
Pemerintah
tidak melakukan intervensi (campur tangan) secara langsung dalam kegiatan
ekonomi.
4)
Masyarakat
terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan
masyarakat pekerja (buruh).
5)
Timbul
persaingan dalam masyarakat yang dilakukan secara bebas, terutama aktivitas
ekonomi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan atau laba.
6)
Oleh karena persaingan bebas, modal menjadi
berperan penting dalam kegiatan ekonomi.
7)
Kegiatan
selalu mempertimbangkan keadaan pasar dan pasar merupakan dasar dari setiap
tindakan ekonomi.
1.2.3
Kebaikan Ekonomi Liberal
Ekonomi liberal juga bisa membawa
dampak yang baik terhadap suatu perekonomian. Kebaikan dari ekonomi liberal
sebagai berikut
1.
Setiap
individu bebas memiliki kekayaan dan sumber-sumber daya produksi, yang nantinya
akan mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
2. Menumbuhkan inisiatif dan
kreatifitas masyarakat dalam mengatur kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak
perlu lagi menunggu perintah / komando dari pemerintah.
3. Muncul barang-barang yang bermutu
tinggi, karena adanya persaingan semangat antar masyarakat sehingga barang yang
kurang bermutu tidak akan laku di pasaran
4. Efisiensi dan efektivitas tinggi,
karena setiap tindakan ekonomi didasarkan atas motif ekonomi.
1.2.4
Kelemahan Ekonomi Liberal
Berikut kelemahan dari ekonomi
liberal, yaitu
1.
Pemilik
sumber daya produksi atau pemilik modal mengeksploitasi golongan pekerja.
Sehingga orang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin
miskin.
2.
Monopoli
yang dilakukan perusahaan dapat merugikan masyarakat.
3.
Sulit
melakukan pemerataan pendapatan.
4.
Sering
terjadi gejolak dalam perekonomian karea pengerahan sumber daya oleh individu
sering salah.
5.
Terjadinya
persaingan bebas yang tidak sehat jika birokratnya korupsi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Sejarah Perkembangan Perekonomian Indonesia
Sejak kemerdekaan negara Indonesia
sampai sekarang telah banyak terjadi perkembangan perekonomian yang sangat
pesat. Hal itu merupakan hasil terhadap kebijakan para pemimpin dalam membangun
segala aspek kehidupan di negara ini khususnya ekonomi. Perekonomian dalam
setiap masa memiliki perbedaan yang mendasar sesuai dengan kondisi pada waktu
lampau hingga sekarang. Yang jelas, perekonomian di Indonesia terjadi banyak
perubahan sistem yang membawa kebaikan dan kelemahan. Berikut penjelasan
mengenai sistem ekonomi yang pernah diterapkan di Indinesia.
3.1.1
Orde Lama
Pada masa orde lama ini dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu
a.
Masa Paska Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara
lain terjadi inflasi yang sangat tinggi, disebabkan oleh beredarnya
lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk
sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku yaitu mata
uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang
pendudukan Jepang. Berdasarkan Teori Moneter, banyaknya
jumlah mata
uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Selain banyaknya mata uang yang beredar, keadaan ekonomi keuangan yang
amat buruk juga disebabkan adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan
November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI, kas negara yang
kosong, dan eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
b.
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal karena dalam politik maupun sistem
ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada
pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez
passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing
dengan pengusaha non-pribumi.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi antara lain:
1.
Gunting Syarifuddin yaitu
pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950 untuk mengurangi jumlah uang
beredar.
2.
Progam Benteng (Kabinet
Natsir) yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong impotir
nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi
impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir
pribumi. Selain itu memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi, agar
dapat berpartisipasi dengan perkembangan ekonomi nasional. Namun, usaha ini
gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tidak bisa
bersaing dengan pengusaha non-pribumi (Cina).
3.
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada tanggal 15 Desember 1951 lewat
UU 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bak sirkulasi.
4.
Sistem Ekonomi Ali-Baba (Kabinet Ali Sastroamijoyo I) yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha
pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan
bantuan kredit dari pemerintah.
c. Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1867)
Sebagai akibat dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia
menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus
pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah).
Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah di masa ini antara lain:
à Devaluasi yang diumumkan pada 25
Agustus 1959 menurunkan nilai mata uang antara lain uang kertas pecahan Rp
500,00 menjadi Rp50,00 dan uang Rp 1000,00 menjadi Rp 100,00.
à Pembentukan Deklarasi Ekonomi untuk
mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam
pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi prekonomian di Indonesia.
à Pemerintah
tidak menghemat pengeluarannya malah banyak melaksanakan proyek-proyek
mercusuar.
à Kebijakan-kebijakan di atas belum
mampu memperbaiki keadaan ekonomi di Indonesia dan ini merupakan salah satu
akibat karena menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan
Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun
bidang lainnya.
3.1.2
Orde Baru
Setelah melihat pengalaman masa
lalu, di mana dalam sistem ekonomi
liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha
non-pribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah
sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi Demokrasi Pancasila.
Di bawah kekuasaan Soeharto
(1965-1998), Indonesia menjadi pelaksana teori petumbuhan Rostow yaitu:
1.
Tahap I : Masyarakat Tradisional.
2.
Tahap II : Pra Kondisi untuk Tinggal Landas.
3.
Tahap III : Tinggal Landas.
4.
Tahap IV : Menuju Kedewasaan.
5.
Tahap V : Konsumsi Massa Tinggi
Ini terbukti
adanya pembangunan lima tahunan yang dikenal dengan PELITA (Pembangunan Lima
Tahunan). Hasilnya pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan
angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat, dan industrialisasi
meningkat pesat. Namun, dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran
lingkungan, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar
kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, penumpukan utang luar negeri,
dan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat dengan KKN. Pembangunan
hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa di imbangi kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial yang adil.
Namun, pada
tanggal 21 Mei 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang membuat Soeharto
lengser. Indonesia belum sempat menuju tahap Tinggal Landas malah kemudian meninggalkan
landasannya hingga lupa pijakan ekonominya rapuh dan mulai hancur.
3.1.3
Orde
Reformasi
Pada masa
reformasi juga dapat dibagi sebagai berikut:
1)
Masa Kepemimpinan BJ. Habibie
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam ekonomi.
2)
Masa Kepemimpinan Abdurrahman Wahid
Di masa ini
belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari
keterpurukan. Padahal ada berbagai persoalan ekonomi yang diwarisi dari orde
baru antara lain masalah KKN, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedeudukan diganti
oleh Megawati.
3)
Masa Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri
Kebijakan-kebijakan
yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain:
a.
Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5.8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b.
Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan
politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1%. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi karena BUMN diprivatisisasi, dijual ke perusahaan asing.
4) Masa
Kepemimpinan SBY-JK
Kebijakan
kontroversial pertama SBY adalah mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelaki oleh naiknya harga minyak
dunia. Anggarn subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan, kesehatan,
serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lalu
kebijakan kontroversial kedua yakni BLT (Bantuan Lngsung Tunai) bagi masyarakat
miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak mendapatkannya. Ada
yang mengaku masyarakat miskin sehingga menerima BLT tersebut, serta sistem
pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Pada bulan Oktober 2006, Indonesia
melunasi seluruh sisa utangnya pada IMF dalam menentukan kebijakan dalam
negeri. Namun, wacana untuk berhutang lagi ke luar negeri kembali mencuat
setelah laporan bahwa kesenjangan ekonomi antar penduduk kaya dan mislin
menjadi tajam dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan
Februari 2005 menjadi 39,05 jutajiwa di bulan Maret 2006.
Hal ini disebabkan karena pengucuran
kredit perbankan ke sektor riil masih kurang (perbankan masih suka menyimpan
dan di SBI), sehingga kinerjanya kurang dan berimbas pada turunnya investasi.
Selain itu birokrasi pemerintah terlalu kental sehingga menyebabkan kecilnya
realisasi belanja negara dan daya serap. Jadi di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negeri, tetapi di pihak lain kondisi dalam negeri
masih kurang kondusif.
3.2 Ekonomi Kerakyatan Versus Ekonomi
Liberal
3.2.1 Ekonomi Kerakyatan
Menjelang pemilihan presiden,
istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai menjadi bahan perbincangan umum dan
diskusi publik. Beberapa kandidat yang bertarung kali ini menyatakan dirinya
sebagai pendukung ekonomi kerakyatan dengan caranya masing-masing. Ini
sebetulnya tanda baik, karena kini isu ekonomi menjadi tema pokok dalam
pemilihan presiden.
Tetapi
masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan karena dipahami
secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah ekonomi kerakyatan
digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk menarik pemilih ketimbang
sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi yang utuh.
Istilah
ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya sebagai paham ekonomi yang
berpihak kepada rakyat. Berbagai macam pertanyaan timbul antara lain. Mungkin
yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi, ekonomi kerakyatan adalah paham
ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin. Dalam konteks ini, tampaknya
istilah ekonomi kerakyatan sengaja digunakan sebagai tandingan atas ekonomi yang
dipersepsikan kurang berpihak kepada rakyat miskin.
Pertama-tama,
istilah ekonomi kerakyatan tidak dikenal dalam literatur ekonomi dan ekonomi
politik. Yang terdapat dalam pembahasan ekonomi adalah kategorisasi suatu
populasi berdasarkan pendapatannya. Maka, kemudian dikenal adanya masyarakat
berpendapatan tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.
Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat analisis dampak dari suatu
kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat pendapatannya berbeda.
Hasilnya,
dampak kebijakan ekonomi dirasakan berbeda-beda pada kelompok masyarakat
berdasarkan tingkat pendapatan, gender, dan umur. Bayangkan suatu kebijakan
ekonomi dalam bidang pertanian. Ada dua kelompok petani yaitu yang kaya dan
yang miskin. Petani yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan
meningkatkan produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun.
Sementara itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga
produksinya tidak bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan berkurang. Dari
contoh ini dapat ditarik kesimpulan suatu kebijakan ekonomi akan memberikan
dampak yang berbeda terhadap dua kategori masyarakat dengan tingkat pendapatan
yang tidak sama.
Pertumbuhan
ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan, karena proporsi
manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan miskin. Sumber daya
masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi
kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kaya karena mereka memiliki
lebih banyak sumber daya.
Dari
kenyataan tersebut kemudian dirumuskan suatu kebijakan ekonomi yang berpihak
kepada masyarakat miskin. Tujuannya, agar kelompok ini dapat menikmati
pertumbuhan ekonomi secara lebih baik dan mereka juga dapat lebih jauh terlibat
dalam aktivitas ekonomi. Inilah yang dikenal sebagai pro-poor growth
(kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin).
Asal-usul
kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan
dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi ini dapat dilacak pada 1970-an
ketika Chenery dan Ahluwalia mengenalkan konsep "pertumbuhan dengan
pemerataan". Pada 1990-an Bank Dunia mengadopsi model tersebut dan
memberikan nama broad-based growth (pertumbuhan dengan basis yang luas).
Dalam World Development Report yang diterbitkan pada 1990 oleh Bank
Dunia, istilah ini tidak pernah didefinisikan. Hingga akhirnya pada 1990-an,
istilah broad-based growth berubah menjadi pro-poor growth.
Elemen penting yang saling terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada
rakyat miskin: pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan.
Intinya,
kebijakan ini berupaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan melalui
pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak secara jelas. Pro-poor growth
sengaja dirancang untuk memberikan kesempatan lebih banyak bagi masyarakat
miskin untuk terlibat dan menikmati hasil pembangunan. Caranya dengan
melibatkan masyarakat miskin dalam kegiatan ekonomi, agar mereka mendapatkan
manfaat dari kegiatan ekonomi.
Selain itu,
kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena biasanya menyangkut
sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang pendidikan, kesehatan,
keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan promosi UMKM.
Di sini kita
ambil contoh yaitu masalah:
1)
UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah)
UMKM sebagai
sektor ekonomi nasional yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi kerakyatan. UMKM merupakan
kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti
menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis, serta menjadi
dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi.
Selain
menjadi sektor usaha yang paling besar kontribusinya terhadap pembangunan
nasional, UMKM juga menciptakan peluang kerja yang cukup besar bagi tenaga
kerja dalam negeri, sehingga sangat membantu upaya mengurangi pengangguran.
Selain itu, UMKM selalu menjadi isu sentral yang diperebutkan oleh para
politisi dalam menarik simpati massa.
Sebagai
poros kebangkitan perekonomian nasional UMKM ternyata bukan sektor usaha yang
tanpa masalah. Selain masalah permodalan yang disebabkan sulitnya memiliki
akses dengan lembaga keuangan karena ketiadaan jaminan (collateral),
salah satu masalah yang dihadapi dan sekaligus menjadi kelemahan adalah
kurangnya akses informasi, khususnya informasi pasar.
Dalam
menghadapi mekanisme pasar yang makin terbuka dan kompetitif, penguasaan pasar
merupakan prasyarat untuk meningkatkan daya saing UMKM. Agar UMKM di
Indonesia dengan segala keterbatasannya dapat berkembang, perlu dukungan berupa
pelatihan dan penyediaan fasilitas. Tentu saja tanggung jawab terbesar untuk
memberikannya adalah pemerintah.
Salah satu
gagasan adalah perlunya dibuat pusat
komunikasi bisnis berbasis web di setiap daerah untuk memfasilitasi UMKM
dalam mengembangkan jaringan usahanya. Pusat komunikasi bisnis berbasis web ini
perlu dibangun di setiap kabupaten atau di setiap kecamatan. Hal ini didasari
pada kenyataan bahwa sebagian besar UMKM berlokasi di desa-desa dan kota-kota
kecamatan, serta belum mampu untuk memiliki jaringan internet sendiri apalagi
memiliki website.
Padahal
untuk pengembangan usaha dengan akses pasar global harus memanfaatkan media
virtual. Pusat komunikasi bisnis berbasis web ini akan memudahkan UMKM dalam
memperluas pasar baik dalam negeri maupun luar negeri dengan waktu dan biaya
yang efisien. Sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat UMKM dan tenaga kerja
yang terlibat di dalamnya akan meningkat dan secara bersinergi akan berdampak
positif terhadap keberhasilan pembangunan nasional.
2)
Pendidikan
Kebijakan
mendorong pendidikan tidak dapat dinikmati secara cepat. Program pendirian
sekolah secara massif pada 1970-an terbukti memberikan dampak positif bagi
pertumbuhan sumber daya manusia. Untuk setiap sekolah dasar yang didirikan bagi
1.000 anak, berhasil ditingkatkan rata-rata tingkat pendidikan dari 0,12
menjadi 0,19 (Duflo 2001). Peningkatan diikuti peningkatan pendapatan dari 1,5
menjadi 2,7. Intinya, bertambahnya tingkat pendidikan meningkatkan pendapatan,
karena tingkat pengetahuan dan keterampilan meningkat.
Kebijakan
ekonomi akan berpihak kepada rakyat miskin, jika pemerintah memberikan alokasi
lebih banyak dalam bidang pendidikan dan juga secara khusus menyusun kebijakan
pendidikan bagi masyarakat miskin, sehingga dapat dikatakan pemerintah sudah
mengadopsi kebijakan yang memihak masyarakat miskin. Kebijakan dalam pendidikan
ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya dalam bidang
peningkatan nutrisi bagi masyarakat miskin.
Bagi
masyarakat miskin, kecukupan nutrisi masih menjadi barang mewah. Padahal
kebutuhan nutrisi yang minimum amat diperlukan agar anak-anak miskin dapat
mengikuti pelajaran dengan baik. Tanpa nutrisi yang baik, konsentrasi anak-anak
miskin tidak bertahan lama. Kebijakan ekonomi yang memihak masyarakat miskin
mesti dijalankan dengan serius dan bukan sekadar slogan politik. Bantuan yang
sifatnya karitatif tidak akan banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang.
Negeri ini membutuhkan kebijakan ekonomi yang berpihak
kepada masyarakat miskin yang komprehensif, karena dua alasan penting yaitu
menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan meningkatnya kualitas SDM,
dan memperkecil ketimpangan.
Berkaitan
dengan uraian diatas, agar sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada
tingkat wacana, sejumlah agenda konkret ekonomi kerakyatan harus segera
diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada lima agenda pokok ekonomi
kerakyatan yang harus segera diperjuangkan. Kelima agenda tersebut anta lain:
1.
Peningkatan
disiplin pengeluaran anggaran denga tujuan utam memerangi paktek KKN.
2.
Penghapusan
monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme.
3.
Persaingan
yang berkeadilan (fair competition).
4.
Peningkatan
alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.
5.
Penguasaan
dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap.
6.
Pembaharuan
UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan.
3.2.2
Ekonomi
Liberal
Di beberapa waktu yang lalu,
semenjak Boediono di calonkan sebagai wakil presiden. Nama “Boediono” menjadi
semakin popular. Munculnya nama Boediono sebagai cawapres waktu itu menimbulkan
beragam reaksi, sebagian pihak seperti kadin mendukung pencalonan Gubernur BI
ini, sebaliknya beberapa parpol koalisi PD masih melakukan penolakan terhadap
Boediono. Salah satu alasan penolakan yang mengemuka adalah karena Boediono
disinyalir menganut paham “Neoliberalisme” yang katanya sangat merugikan negeri
tercinta ini, banyak kalangan berharap paham ekonomi kerakyatan yang seharusnya
dipakai di negeri ini.
Neoliberalisme
itu istilah licin yang sering mengecoh pemakainya. Misalnya, ekonomi pasar
dianggap identik neoliberalisme. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi
ekonomi-pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal (ekonomi
pasar sosial, bukan neoliberal). Atau, privatisasi sering dilihat identik
dengan ciri kebijakan neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi
bersifat neoliberal.
Awalan neo
(baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk gejala kemiripan tata ekonomi 30
tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses
ekonomi. Namun, apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir bercorak lebih ekstrem
daripada seabad lalu.
Reinkarnasi
liberalisme ekonomi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam bentuk lebih
ekstrem itu berlangsung dengan mengakhiri era besar yang disebut embedded
liberalism. Embedded liberalism merupakan model ekonomi setelah
Perang Dunia II hingga akhir dekade 1970-an. Intinya, kinerja ekonomi pasar
dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan
tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital.
Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya
kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem.
Lain dengan
liberalisme abad ke-19, neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia
sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Tak ada yang aneh pada reduksi
itu. Penciutan pengandaian itu tidak dengan sendirinya keliru. Keketatan
berpikir dalam kinerja tiap ilmu biasanya melibatkan penciutan, seperti
geografi berangkat dari pengandaian manusia sebagai makhluk ruang; ilmu hukum
dari premis manusia sebagai makhluk tata aturan. Yang menarik dari visi
neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus direntang
luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia.
Pada
gilirannya, perspektif oeconomicus itu direntang untuk menjadi prinsip
pengorganisasian seluruh masyarakat. Inilah aspek yang mungkin paling tegas
membedakan ekonomi neoliberal dari ekonomi liberal klasik.
Tak ada
teori yang berjalan sendiri. Dalam stagnasi ekonomi negara-negara maju pada
dasawarsa 1970-an, dan dalam revolusi teknologi informasi sejak awal dekade
1980-an, kecenderungan itu mengalami evolusi lanjut dan menghasilkan ciri utama
neoliberalisme.
Perspektif oeconomicus
bukan hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi lain hidup manusia, bahkan
dalamperspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarki prioritas: prioritas
sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam
ekonomi.
Hasilnya
adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dan semacamnya.
Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam
ekonomi, dengan prioritas yang pertama. Dalam bahasa sederhana, proses ekonomi
bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang / jasa riil.
Ada anggapan,
maraknya transaksi produk-produk finansial akan mengalir langsung ke investasi
di sektor riil (dalam bentuk pabrik atau sepatu), yang diharapkan menyediakan
lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Ekonom Gacrard Dumacnil dan
Dominique Lacvy punya temuan penting dengan data statistik menawan. Dalam karya
baru, Capital Resurgent (2004), mereka menemukan tetesan itu amat minim, di AS
maupun di Perancis. Kesimpulannya, finance finances it self, but does
not finance investment. Pokok ini sentral karena kritik atas neoliberalisme
biasanya dianggap sikap anti-investasi, antipertumbuhan, antiekonomi pasar, dan
semacamnya.
2.2.3
Subversi Neokolonialisme
Pertanyaannya,
bagaimanakah situasi perekonomian Indonesia saat ini? Artinya, sebagai amanat
konstitusi, sejauh manakah ekonomi kerakyatan telah dilaksanakan di Indonesia.
Sebaliknya, benarkah perekonomian Indonesia lebih didominasi oleh pelaksanaan
agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana banyak diperbincangkan belakangan
ini?
Dua hal
berikut perlu mendapat perhatian dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pertama,
sebagai sebuah negara yang mengalami penjajahan selama 3,5 abad, perekonomian
Indonesia tidak dapat mengingkari kenyataan terbangunnya struktur perekonomian
yang bercorak kolonial di Indonesia. Sebab itu, ekonomi kerakyatan pertama-tama
harus dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengoreksi struktur perekonomian
yang bercorak kolonial tersebut. Kedua, liberalisasi bukan hal baru bagi
Indonesia, tetapi telah berlangsung sejak era kolonial.
Berangkat
dari kedua catatan tersebut, secara singkat dapat saya kemukakan bahwa
perjuangan bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan bukanlah
perjuangan yang mudah. Kendala terbesar justru datang dari pihak kolonial.
Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pihak
kolonial hampir terus menerus mensubversi upaya bangsa Indonesia untuk
melaksanakan ekonomi kerakyatan.
Secara
ringkas, subversi-subversi yang dilakukan oleh pihak kolonial untuk mencegah
terselenggaranya ekonomi kerakyatan itu adalah sebagai berikut.
Pertama, terjadinya agresi I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan
utamanya adalah untuk mencegah berdirinya NKRI yang berdaulat, mandiri, dan
berkepribadian.
Kedua, dipaksanya bangsa Indonesia untuk memenuhi tiga syarat
ekonomi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar
(KMB) pada 1949. Ketiga syarat ekonomi itu adalah: (1) bersedia menerima
warisan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 milliar gulden; (2) bersedia mematuhi
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF); dan
(3) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang
beroperasi di Indonesia.
Ketiga, dilakukannya berbagai tindakan adu domba menyusul
dilakukannya tindakan pembatalan KMB secara sepihak oleh pemerintah Indonesia
pada 1956. Tindakan-tindakan itu antara lain terungkap pada meletusnya
peristiwa PRRI/Permesta pada 1958.
Keempat, diselundupkannya sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi
Indonesia ke AS untuk mempelajari ilmu ekonomi yang bercorak
liberal-kapitalistis sejak 1957. Para ekonom yang kemudian dikenal sebagai
Mafia Berkeley ini sengaja dipersiapkan untuk mengambil alih kendali
pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno pada 1966.
Kelima, dilakukannya sandiwara politik yang dikenal sebagai proses
kudeta merangkak terhadap Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca
terbitnya UU No. 16/1965 pada Agustus 1965, yang menolak segala bentuk
keterlibatan modal asing di Indonesia.
Keenam, dipaksanya Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum
ia secara resmi dilengserkan dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU
No. 7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-piutang antara pemerintah
Indonesia dan pemerintah Belanda; (2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran
Indonesia sebagai anggota ADB; (3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali
Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia; dan (4) UU No. 1/1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA).
Ketujuh, dibangunnya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia
sejak 1967. Melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini, para ekonom
“Mafia Berkeley” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara
sistematis berusaha membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian
Indonesia dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan
pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID,
dan ADB dengan cara mengucurkan utang luar negeri.
Kedelapan, dilakukannya proses liberalisasi besar-besaran sejak 1983,
yaitu melalui serangkaian kebijakan yang dikemas dalam paket deregulasi dan
debirokratisasi.
Kesembilan, dipaksannya Soeharto untuk menandatangani pelaksanaan
agenda-agenda ekonomi neoliberal secara terinci melalui penandatanganan nota
kesepahaman dengan IMF pada 1998, yaitu sebelum ia secara resmi dipaksa untuk
mengakhiri kekuasannya melalui sebuah gerakan politik yang dikenal sebagai
gerakan reformasi. Perlu diketahui, dalam sejarah perekonomian Inggris, gerakan
reformasi serupa dimotori antara lain oleh David Hume, Adam Smith, David
Ricardo, Thomas R. Malthus, dan John S. Mill (Giersch,1961).
Kesepuluh, dilakukannya amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang
merupakan landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Melalui perdebatan yang cukup
sengit, ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan. Tetapi kalimat penting yang
terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bangun perusahaan
yang sesuai dengan itu ialah koperasi,” turut menguap bersama hilangnya
penjelasan pasal tersebut.
Menyimak
kesepuluh tindakan subversi itu, mudah dipahami bila dalam 64 tahun setelah
proklamasi, sistem ekonomi kerakyatan tidak pernah berhasil diselenggaran di
Indonesia. Perjalanan perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih
tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju
neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin
terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda
ekonomi neoliberal dalam beberapa waktu belakangan ini. Bahkan, utang dalam dan
luar negeri pemerintah yang pada akhir pemerintahan Soeharto berjumlah US$54
milyar, belakangan membengkak menjadi US$165 milyar.
Perlu
diketahui, penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal itu antara lain
tertangkap tangan melalui pembatalan seluruh atau beberapa pasal yang terdapat
dalam tiga produk perundang-undangan, yang terbukti melanggar konstitusi,
sebagai berikut: (1) UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan; (2) UU No.
22/2001tentang Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas); dan (3) UU No. 25/2007 tentang
Penanaman Modal.
2.2.4
Perbandingan Ekonomi Kerakyatan dengan Ekonomi
Neoliberalisme
Mencermati
perbedaan mencolok antara ekonomi kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut,
tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan pada
dasarnya adalah antitesis dari neoliberalisme. Sebab itu, sebagai saudara
kandung neoliberalisme, ekonomi negara kesejahteraan (keynesianisme), juga
tidak dapat disamakan dengan ekonomi kerakyatan. Keynesianisme memang menaruh
perhatian yang sangat besar terhadap penciptaan kesempatan kerja penuh, namun
demikian ia tetap dibangun berdasarkan prinsip persaingan bebas dan pemilikan
alat-alat produksi secara pribadi. Perlu saya tambahkan, ekonomi kerakyatan
tidak dapat pula disamakan dengan ekonomi pasar sosial. Sebagaimana dikemukakan
Giersch (1961), ekonomi pasar sosial adalah salah satu varian awal dari
neoliberalisme yang digagas oleh Alfred Muller-Armack.
2.3
Peran Negara Dalam Ekonomi
NO.
|
Ekonomi
Kerakyatan
|
Kapitalisme
|
|
Negara
Kesejahteraan
|
Ekonomi
Liberal
|
||
1.
|
Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas
azas kekeluargaan; mengembangkan koperasi (Pasal 33 ayat 1).
|
Mengintervensi pasar untuk menciptanya kondisi kesempatan
kerja penuh.
|
Mengatur dan menjaga bekerjanya mekanisme pasar; mencegah
monopoli.
|
2.
|
Menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; m4engembangkan 5BUMN (Pas6al 33
ayat 2).7
|
Menyelenggarakan BUMN pada cabang-cabang produksi yang
tidak dapat diselenggarakan oleh perusahaan swasta.
|
Mengembangkan sektor swasta dan
melakukan privatisasi BUMN.
|
3.
|
Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Pasal 33 ayat 3).
|
Menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan
pemerataan pembangunan.
|
Memacu laju pertumbuhan ekonomi,
termasuk dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masuknya investasi
asing.
|
4.
|
Mengelola anggaran negara untuk
kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.
|
Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan
rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.
|
Melaksanakan kebijakan anggaran
ketat, termasuk menghapuskan subsidi.
|
5.
|
Menjaga stabilitas moneter.
|
Menjaga stabilitas moneter.
|
Menjaga stabilitas moneter.
|
6.
|
Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat
2).
|
Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
|
Melindungi pekerja perempuan, pekerja anak, dan bila perlu
menetapkan upah minimum.
|
7.
|
Memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Pasal
34).
|
Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
|
Menyimak berbagai kenyataan tersebut, dapat disaksikan
betapa sangat beratnya tantangan yang dihadapi bangsa Indonesai dalam
melaksanakan amanat konstitusi untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan di
Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan era kolonial, tantangan yang ada
saat ini justru jauh lebih berat. Pertama, pihak kolonial sebagai musuh
utama ekonomi kerakyatan tidak hadir secara kasat mata. Kedua,
berlangsungnya praktik pembodohan publik secara masif melalui praktik
penggelapan sejarah sejak 1966/1967. Ketiga, terlembaganya sistem “cuci
otak” yang bercorak neoliberal dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua
jenjang pendidikan di Indonesia. Keempat, setelah mengalami proses
pembelokan orientasi pada 1966/1967, keberadaan struktur perekonomian yang
bercorak kolonial di Indonesia cenderung semakin mapan. Kelima, setelah
melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun belakangan
ini, cengkeraman neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia cenderung
semakin dalam.
Walaupun demikian, tidak berarti sama sekali tidak ada
harapan. Harapan untuk kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan tersebut
setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal sebagai berikut. Pertama,
mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS dari beberapa negara di Amerika
Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan ini. Yang menonjol diantaranya
adalah Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, serta Iran di Asia. Kedua,
mulai terlihatnya gejala pergeseran dalam peta geopolotik dunia, yaitu dari
yang bercorak unipolar menuju tripolar, sejak munculnya Uni Eropa dan
kebangkitan ekonomi Cina. Ketiga, berlangsungnya krisis kapitalisme
internasional yang dipicu oleh krisis kapitalisme AS sejak 2007 lalu. Keempat,
meningkatnya kerusakan ekologi di Indonesia pasca dilakukannya eksploitasi
ugal-ugalan dalam rangka neokolonialisme dan neoliberalisme dalam 40 tahun
belakangan ini. Dan kelima, meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi
dalam perekonomian Indonesia.
Pertanyaannya adalah, tindakan jangka pendek, jangka
menengah , dan jangka panjang apa sajakah yang perlu dilakukan untuk memastikan
berlangsunya suatu proses kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan dimasa datang?
Untuk memperoleh jawaban yang akurat, terutama untuk jangka menengah dan jangka
panjang, tentu diperlukan suatu pengkajian dan diskusi yang cukup luas. Tetapi
untuk jangka pendek, terutama bila dikaitkan dengan akan segera berlangsungnya
proses pemilihan presiden pada Juli mendatang, jawabannya mungkin bisa
dirumuskan secara lebih sederhana. Dengan mengatakan hal itu tidak berarti
bahwa perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan sangat tergantung pada
siklus lima tahun pergantian kepemimpinan nasional. Ada atau tidak ada
pergantian kepemimpinan nasional, perjuangan untuk mewujudkan ekonomi
kerakyatan harus tetap berlanjut. Namun demikian, siklus pergantian
kepemimpinan nasional harus dimanfaatkan secara optimal sebagai momentum
strategis untuk mempercepat proses kebangkitan kembali tersebut.
Singkat kata, dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali
ekonomi kerakyatan, adalah kewajiban setiap patriot ekonomi kerakyatan untuk
memastikan bahwa pemimpin yang terpilih bukanlah pasangan calon pemimpin yang
secara jelas mengimani dan mengamalkan neoliberalisme. Dukungan yang lebih
besar harus diberikan kepada pasangan calon pemimpin yang secara jelas dan
tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk menyelenggarakan sistem ekonomi
kerakyatan di Indonesia.
2.4
Perlunya Ekonomi Kerakyatan
Dijadikan sebagai Strategi Pembangunan Ekonomi Indonesia
Kemudian, ada
empat alasan mengapa ekonomi kerakyatan perlu dijadikan paradigma baru dan
strategi baru pembangunan ekonomi Indonesia. Keempat alasan, dimaksud adalah:
1.
Karakteristik Indonesia
Pengalaman
keberhasilan Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Brazil, meniru konsep
pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika,
ternyata bagi negara-negara berkembang lainnya, yang menerapkan konsep yang
memberikan hasil yang berbeda. Dengan mengandalkan dana pinjaman luar negeri
untuk membiayai pembangunan, mengandalkan investasi dari luar negeri,
memperkuat industri substitusi ekspor, selama dua sampai tiga dasawarsa memang
berhasil mendorong pertumbuhan output
nasional yang cukup tinggi dan memberikan lapangan kerja cukup luas bagi
rakyat. Walaupun Indonesia pernah dijuluki sebagai salah satu dari delapan
negara di Asia sebagai Asian Miracle
atau negara Asia yang ajaib, karena tingkat pertumbuhan ekonominya yang cukup
mantap selama tiga dasa warsa, tetapi ternyata sangat rentan dengan terjadinya supply shock. Krisis mata uang Bath di Thailand, ternyata dengan cepat
membawa Indonesia dalam krisis ekonomi yang serius dan dalam waktu yang amat
singkat, ekonomi Indonesia runtuh.
Fakta ini menunjukkan kepada kepada kita,
bahwa konsep dan strategi pembangunan
ekonomi yang berhasil diterapkan di suatu negara, belum tentu akan berhasil
bila diterapkan di negara lain. Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori pertumbuhan Rostow,
teori pertumbuhan David Romer, teori
pertumbuhan Solow, dibangun dari
struktur masyarakat pelaku ekonomi yang berbeda dengan struktur ekonomi
masyarakat Indonesia. Setiap teori selalu dibangun dengan asumsi-asumsi tertentu, yang tidak
semua negara memiliki syarat-syarat yang diasumsikan. Itulah sebabnya, untuk
membangun ekonomi Indonesia yang kuat, stabil dan berkeadilan, tidak dapat
menggunakan teori generik yang ada. Kita harus merumuskan konsep pembangunan
ekonomi sendiri yang cocok dengan tuntutan politik rakyat, tuntutan konstitusi
kita, dan cocok dengan kondisi obyektif dan situasi subyektif kita.
2. Tuntutan Konstitusi
Walaupun rumusan konstitusi kita yang
menyangkut tata ekonomi yang seharusnya dibangun, belum cukup jelas sehingga
tidak mudah untuk dijabarkan bahkan dapat diinterpretasikan bermacam-macam
(semacam ekonomi bandul jam, tergantung siapa keyakinan ideologi pengusanya);
tetapi dari analisis historis sebenarnya makna atau ruhnya cukup jelas. Ruh tata ekonomi usaha bersama uang
berasas kekeluargaan adalah tata ekonomi yang memberikan kesempatan kepada
seluruh rakyat untuk berpartisiasi sebagai pelaku ekonomi. Tata ekonomi yang
seharusnya dibangun adalah bukan tata ekonomi yang monopoli atau monopsoni atau
oligopoli. Tata ekonomi yang dituntut konstitusi adalah tata ekonomi yang
memberi peluang kepada seluruh rakyat atau warga negara untuk memiliki aset
dalam ekonomi nasional. Tata ekonomi nasional adalah tata ekonomi yang
membedakan secara tegas barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh
pemerintah dan barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh sektor private
atau sektor non pemerintah. Mengenai bentuk kelembagaan ekonomi, walaupun dalam
penjelasan pasal 33 dinterpretasikan sebagai bentuk koperasi, tetapi tentu harus menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat dan lingkungan.
3. Fakta Empirik
Dari krisis moneter yang berlanjut ke krisis
ekonomi dan kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata tidak sampai
melumpuhkan perekonomian nasional. Bahwa
akibat krisis ekonomi, harga kebutuhan pokok melonjak, inflasi hampir tidak
dapat dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor produk manufaktur), impor
barang modal menurun, produksi barang manufaktur menurun, pengangguran
meningkat, adalah benar. Tetapi itu semua ternyata tidak berdampak serius
terhadap perekonomian rakyat yang sumber penghasilannya bukan dari menjual
tenaga kerja.
Usaha-usaha yang digeluti atau dimiliki oleh
rakyat banyak yang produknya tidak menggunakan bahan impor, hampir tidak
mengalami goncangan yang berarti. Fakta yang lain, ketika investasi nol persen,
bahkan ternjadi penyusutan kapital, ternyata ekonomi Indonesia mampu tumbuh 3,4
persen pada tahun 1999. Ini semua membuktikan bahwa ekonomi Indonesia akan
kokoh kalau pelaku ekonomi dilakukan oleh sebanyak-banyaknya warga negara.
4. Kegagalan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi yang telah kita laksanakan
selama 32 tahun lebih, dilihat dari satu aspek memang menunjukkan hasil-hasil
yang cukup baik. Walaupun dalam periode tersebut, kita menghadapi 2 kali krisis
ekonomi (yaitu krisis hutang Pertamina dan krisis karena anjloknya harga
minyak), tetapi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas 7 persen
pertahun. Pendapatan perkapitan atau GDP perkapita juga meningkat tajam dari 60 US dolar pada tahun
1970 menjadi 1400 US dolar pada tahun 1995. Volume dan nilai eksport minyak dan
non migas juga meningkat tajam. Tetapi pada aspek lain, kita juga harus
mengakui, bahwa jumlah penduduk miskin makin meningkat, kesenjangan pendapatan
antar golongan penduduk dan atar daerah makin lebar, jumlah dan ratio hutang
dengan GDP juga meningkat tajam, dan pemindahan pemilikan aset ekonomi dari
rakyat ke sekelompok kecil warga negara juga meningkat.
Walaupun berbagai program penanggulangan
kemiskinan telah kita dilaksanakan, program 8 jalur pemerataan telah kita
canangkan, tetapi ternyata semuanya tidak mampu memecahkan masalah-masalah
dimaksud. Oleh sebab itu, yang kita butuhkan saat ini sebenarnya bukan program
penanggulangan kemiskinan, tetapi merumuskan kembali strategi pembangunan yang
cocok untuk Indonesia. Kalau strategi pembangunan ekonomi yang kita tempuh
benar, maka sebenarnya semua program pembangunan adalah sekaligus menjadi
program penanggulangan kemiskinan.
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Setelah melihat uraian di atas di
Indonesia seharusnya menerapkan ekonomi kerakyatan. Ekonomi ini bertumpu pada
sektor-sektor ekonomi rakyat, salah satu contoh adalah UMKM yang berada di
berbagai daerah perlu ditingkatkan. Dengan mengetahui potensi-potensi daerah
yang ada, pemerintah seharusnya bisa memodali dalam bentuk uang ataupun
fasilitas misalnya memberikan bantuan tunai untuk mengembangkan UMKM yang
berada di daerah itu serta memberikan pelatihan-pelatihan bagaimana cara
mengembangkan usaha. Dengan begitu, juga dapat mengurangi
pengangguran-pengangguran di sektor-sektor informal.
Selain itu, seperti yang sudah
dijelaskan di atas perlu difasilitasi dengan teknologi yang sudah berkembang di
era globalisasi ini. Salah satu contoh dengan gagasan pusat komunikasi bisnis berbasis
web. Ini diberikan pemahaman-pemahaman bagaimana menggunakan fasilitas
internet, web untuk mengembangkan UMKM yang ada. Salah satu faktor pendukung
memperluas pasar baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam hal ini juga diperlukan adanya
kerja sama dengan pemerintah. Kita tahu, salah satu kendala tersalurnya modal
yaitu korupsi yang banyak dilakukan oleh para pejabat di pemerintahan pusat
ataupun di daerah. Selama ini belum dapat teratasi, kemungkinan sangat sulit
menjalankan sistem ini. Namun, sebagai bangsa yang bermoral, perlunya kasus-kasus
yang merugikan negara harus diberantas secara tuntas untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat yang memadai.
Pembangunan ekonomi di Indonesia perlu segera untuk dibenahi
untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD
1945. Hal itu bisa dilakukan dengan cara optimalisasi sumber-sumber daya yang
ada dan peran sektor-sektor rumah tangga harus lebih efektif dan efisien untuk
mewujudkan keberhasilan membangun negara. Menata kembali kebijakan-kebijakan
perdagangan luar negeri seperti ekspor dan impor agar tidak
dirugikan oleh pihak asing.
4.2
Saran
Saran-saran dari penulis mengenai
ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal di Indonesia yaitu
1.
Indonesia yang lebih cocok untuk
menerapkan ekonomi kerakyatan sudah seharusnya secara konsisten untuk tetap
menerapkannya dan tidak mencampuradukkan dengan sistem ekonomi liberal yang
lebih merugikan bagi bangsa Indonesia
2.
Semua sektor-sektor perekonomian di
Indonesia harus diperhatikan untuk mewujudkan perekonomian yang sejahtera\
3.
Kegagalan-kegagalan dalam mebangun
perekonomian Indonesia bisa dijadikan sebagai bahan untuk pembelajaran sehingga
lebih tahu mana sistem yang harus diterapkan guna mewujudkan cita-cita bangsa
DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond, 2008. Ekonomi Kerakyatan: Amanat
Konstitusi untuk Mewujudkan Demokrasi Ekonomi di Indonesia. Dalam Sarjadi
dan Sugema (Eds.), Ekonomi Konstitusi. Jakarta: Sugeng Sarjadi
Syndicate.
Baswir, Revrisond. 2010. Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme. (Online), (http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm), diakses hari
Kamis tanggal 4 April 2013, pukul 15.20 WIB.
Hatta, Mohammad. 1985. Membangun Ekonomi Indonesia. Jakarta:
Inti Idayu Press.
B, Kanumoyoso. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di
Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.